Tulisan ini diilhami oleh berita-berita yang sering saya lihat di tv maupun media cetak dan juga berdasarkan pengalaman pribadi, saya akui saya hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Dan saya juga berusaha untuk tidak munafik dengan masa lalu saya, yang penting bagaimana untuk lebih baik ke depannya (lihat artikel saya : tips buat para berandalan yang akan menikah).
Saya sekarang sudah menikah dan bersyukur bisa memulai hidup baru dengan sedikit mulus, punya istri yang cantik (di mata saya) dan seorang anak yang membuat hidup saya begitu bergairah untuk menyiapkan jalan bagi masa depannya.
Kembali ke masa lalu, sampai sekarang saya bekerja di sebuah perusahaan yang mengharuskan untuk berkelana dari satu wilayah ke wilayah lain di seluruh wilayah Indonesia. Dari setiap daerah yang saya jelajahi ternyata tidak ada satupun daerah yang bebas prostitusi bahkan di daerah yang menerapkan norma agama secara ketat sekalipun.
Saya pernah tinggal di daerah Sulawesi dimana tidak ada lokalisasi resmi, tapi kalo untuk “jajan” rasanya tidak terlalu sulit (bahkan mungkin sangat gampang dicari). Ada yang namanya “hotel bent***” (kalo tidak salah soalnya sudah terlalu lama) untuk kelas rendahan atau di perumahan sekalipun. Saya pernah “jajan” di sebuah rumah. Sebuah rumah tingkat dua di perumahan padat penduduk dimana kita kalo masuk harus naik tangga langsung ke tingkat dua. Ketika saya masuk ada anak-anak yang sedang rajin belajar tanpa memperdulikan kami dan kemudian sang tuan rumah membawa 4 perempuan untuk dipilih yang setelah deal kami diajak kebawah yang ternyata “ruang praktek”. Saya yang pada waktu itu masih gila sekalipun masih bisa berpikir waras “sehatkah ini untuk perkembangan kejiwaan anak?”
Setelah itu saya dipindah ke Kaltim (balikpapan khususnya). Balikpapan mungkin surga untuk para lelaki hidung belang disamping tentu saja medan dan Jakarta. Tapi saya tidak membahas yang kelas atas yang kalo perlu hanya telepon GMnya, di Balikpapan ada yang namanya lokalisasi km 17 dimana setiap jum’at pagi para PSKnya di cek kesehatannya oleh dinas kesehatan.
Untuk daerah sumatera ada praktek yang lumayan aneh, dimana PSKnya berpraktek sambil menumpang taksi, jadi jangan heran kalo ada taksi berpenumpang perempuan yang kalo di stop taksinya bisa berhenti. Kalo medan seperti yang saya bilang diatas sudah tidak perlu dibicarakan lagi karena hotel berbintang yang punya tokoh masyarakat disana aja buka kamar short time, kita tinggal bawa kendaraan terus masuk garasi langsung masuk kamar dan petugas akan datang ke kamar untuk biaya administrasi , semua privasi terjaga.
Kalo dikampung saya kayaknya gampang, gak perlu nelpon dan gak perlu susah-susah nyari. Tinggal klakson biasanya kalo yang bisa di pake akan segera mendekat meskipun ditengah keramaian (feeling yang berbicara). Dulu waktu SD saya sering dengar nama “apih Anda” seorang GM kelas rendah yang beroperasi di daerah statsiun kota, kalo urusan kesehatan jangan di tanya sama saja seperti lokalisasi manggar di Balikpapan. Dulu waktu SD saya punya pengalaman buruk ketika main di sekitar bioskop garuda (radius bermain saya lumayan jauh, bisa main ke bogor hanya berbekal seratus perak naik kereta api gratis karena kenal sama masinisnya), seorang PSK STW yang bermake up tebal menyapa saya. Saking ketakutannya karena ditanya sama perempuan yang mirip orang-orangan sawah, saya lari terbirit-birit sampai terjatuh beberapa kali.
Sekarang saya mulai agak waras, berusaha untuk menjadi bapak yang baik, mulai ketakutan terhadap perkembangan anak saya. Meskipun anak saya masih kecil (10 tahun) dan cenderung jadi anak rumahan, tapi dia mewarisi sifat-sifat saya yang agak keras kepala dan punya rasa ingin tahu terhadap segala hal, makanya sayapun berusaha untuk tidak menekan dia sebab saya takut makin ditekan makin keras kepala seperti saya dulu. Saya takut ketika dia sudah bisa main sendiri, takut dia dewasa sebelum waktunya. Sengaja saya masukan di ke sekolah yang berangkat pagi dan pulang jam 4 sore supaya waktu bermainnya sedikit dan mendapat pendidikan agama yang cukup.
Segala proteksi yang saya lakukan saya pikir akan kurang maksimal kalo lingkungannya tidak mendukung, dan seperti kita tahu setiap di grebeg, setiap di oprak-oprak. Prostitusi akan tetap ada, hanya pindah tempat dan rubah strategi. Penutupan lokalisasi tidak pernah menghapus prostitusi tapi malah memuat mereka lari ke jalan, ke dekat lingkungan kita.
Saya berpikir juga tentang penyebaran penyakit berbahaya seperti AIDS, herpes, hepatitis, GO, syphilis, dll. Saya tidak merasa ikut bersedih ketika menemukan penyakit ini pada orang yang suka jajan atau PSKnya karena ketika melakukannya harusnya mereka sudah tahu resikonya dan saya pikir mereka sudah bisa perpikir dewasa untuk melakukan itu. Yang saya sedihkan adalah banyaknya korban yang tidak bersalah karena jarum suntik, pisau cukur barber shop, transfusi darah dll. Mending kalo penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang masih bisa bisa disembuhkan, kalo virus? Sampai sekarang belum ada obatnya buat virus.
Dipandang dari segi hukum juga sebenarnya lemah (menurut hukum positif yang juga dipakai di negara kita), Salah satu filosofi hukum positif adalah : ada subyek, ada obyek. Ada pelaku, ada korban. Ada sebab, ada akibat (katanya). Dalam dunia prostitusi tidak ditemukan korban, apalagi pelaku. Dunia prostitusi menurut saya sama seperti dunia bisnis lainya. Ada pembeli, ada penjual. Ada uang, ada barang. Yang satu mendapat “nikmat”, yang satu mendapat uang. Urusan moral saya pikir tidak bisa masuk ke ranah hukum, karena ukuran moralitas tiap orang dan tiap daerah pasti akan berbeda-beda, karena relatifitasnya itulah yang akan mengakibatkan ketidakpastian hukum karena tidak terukur. Hukum menurut saya hanya mengurus korban penipuan dan penjualan perempuan yang jelas-jelas menjadi korban.