Suka duka seorang dokter
I. S U K A:
Ada beberapa keuntungan ( suka ) bila kita menjadi seorang dokter a.l.:
Punya penghasilan tetap yang berasal dari sebagai Pegawai Negeri/Swasta di instansi kesehatan ( Rumah Sakit, Puskesmas dll ), Praktek Swasta/Sore, Usaha-usaha lain: punya Apotik, Laboratorium Klinik dll.
Dapat menciptakan lapangan kerja bagi orang lain seperti: perawat yang membantu di tempat praktek sore, penerima pasien/tamu dll.
Dapat mengobati: diri sendiri dan keluarga.
Mendapat kepuasan batin, bila pasien sembuh dari sakitnya.
Mendapat diskon/gratis biaya pengobatan dari T.S. ( Teman Sejawant ) Spesialis. Didalam Kode Etik KedokteranIndonesia antara lain dicantumkan bahwa: T.S. dianggap sebagai saudara/keluarga sendiri. Jadi bila berobat boleh gratis . Misalnya: diberi gratis biaya pengobatan/ operasi dari T.S. Spesialis Mata ketika saya mengalami operasi mata pada November 1999. Biaya pemeriksaan anak kami juga di gratiskan oleh T.S. Spesialis Anak. Untuk semuanya itu saya ucapkan terima kasih kepada T.S.
Mendapat kepercayaan dari masyarakat: Masyarakat menganggap bahwa dokter adalah orang tergolong mampu sehingga urusan duit tidak menjadi masalah ( meskipun tidak selalu benar ). Contoh: beberapa tahun yang lalu ketika kami mengunjungi pameran Automotif ( mobil ) “Mitsubishi”, kami tertarik dengan type Etherna, 2000 cc yang waktu itu harganya sekitar Rp. 60 jutaan. Penjaga stand yang saat itu bertugas (kebetulan mengenal saya sebagai dokter) pada akhir kunjungan kami di stand mereka berkata, “Dokter pilih warna apa? Bila berkenan, nanti sore petugas kami akan mengantarkannya ke rumah dokter.” Wah…enak benar tinggal tunjuk mobil, maka mobil sudah berada dalam garasi kami. He…he…jangankan yang harganya segitu yang harganya Rp. 30 juta an saja saat itu kami belum mampu membelinya. Akhirnya saya katakan kepada penjaga stand, ”Terima kasih ya, kami lihat-lihat dulu.” Ia tersenyum kecut (ngeledek nih ye.. )
II. D U K A :
Tidak selamanya menjadi dokter itu menyenangkan. Sering kali saya mengalami hal yang kurang/tidak menyenangkan dalam menjalankan profesi sebagai dokter umum. Misalnya ada yang berhubungan dengan:
Hal Medis, Waktu, Tempat, Uang Jasa dan Apotik.
1. Duka dalam hal Medis:
a. Suntik minded:
Seorang Ibu berkeberatan membayar Jasa Pelayanan dokter karena ia tidak mendapatkan suntikan. Ia berkata,”Masa tidak disuntik bayarnya sama dengan yang disuntik. Saya minta disuntik saja, dok.” Padahal pasien itu tidak perlu disuntik. Rupanya ia sudah “suntik minded”. Kalau tidak disuntik katanya sama dengan berobat ke Dukun. Wah…saya jadi Terkun nih ( Dokter dukun ). Kalau saya turuti kemauannya berarti dokter didikte oleh pasien. Yang menentukan disuntik atau tidak kan dokternya bukan pasiennya. Kalau tidak disuntik ia tak mau bayar penuh dan mungkin lain kali bila ia sakit , ia akan pergi ke dokter lain yang mau didikte olehnya. Demi “win win solution” akhirnya ia disuntik Vitamin saja deh. Pasien untung, dokter juga untung dibayar penuh. Kadang-kadang saya harus pandai-pandai bernegosiasi dengan pasien.
b. Shok anafilaktik:
Kasus ini sangat dihindari oleh para dokter manapun juga, karena sangat besar bahayanya bagi pasien ( meninggal dunia ) dan bagi dokter ( resiko dituntut oleh keluarga pasien ). Saya pernah mengalami kasus ini sebanyak 3 kali yang semuanya Puji Tuhan, selamat dari ancaman maut.
Contoh Kasus:
Seorang pemuda, 18 tahun, dating berobat dengan keluhan gatal-gatal & bentol ( urtikaria, kaligata, biduren )di seluruh badannya setelah makan Udang. Rupanya ia alergi terhadap Udang. Saya menyuntiknya dengan 1 cc Cortison untuk meredakan reaksi alerginya. 5 menit setelah disuntik, ia masih berbaring di atas bed pemeriksaan. Saya khawatir juga, jangan-jangan ia mengalami shok anafilaktik. Ternyata benar ia tak sadar ( tak ada respon ketika dipanggil namanya dan tidak bereaksi ketika kulitnya dicubit keras ), suhu badannya menurun, denyut nadi di lengannya tak teraba, tensi darah tak terukur, muka pucat sekali. Sambil berdoa agar pasien ini selamat, segera saya menyuntikkan 0,3 cc Adrenalin disebelah bekas suntikan yang pertama di bokong kiri sebagai anti dotum ( penawar ). Sambil berdoa terus, saya memonitor: tensi ( tekanan )darahnya setiap 2 menit. 5 menit kemudian tensi darah sudah mulai terukur dan naik sedikit demi sedikit ( berkat rangsangan Adrenalin terhadap jantung ) dan tensi sudah 100/60 mmHg. Pasien mulai sadar dan saya minumkan air teh hangat untuk menaikkan kadar Gula darahnya dan agar badan tidak lemas. Finally….pasien saya dapat bangun kembali. Shok anafilaktik dapat terjadi akibat suntikan: Cortison ( aneh, padahal ini adalah zat anti alergi dan injeksi spuit juga baru ), Oksitetrasiklin ( anti biotika ), B 12 ( vitamin ), Penicilin ( antibiotika, paling banyak menyebabkan Sok anafilaktik ), Streptomycin ( antibiotika ), Procain ( anestesi local ). Semua pasien saya dapat tertolong dengan suntikan Adrenalin 0,3 cc. Adrenalin merupakan obat yang paling baik dan paling cepat bereaksi terhadap kasus ini. Meskipun demikian ada bahayanya yaitu bila Adrenalin disuntikkan sebanyak > 0,3 cc, maka jantung akan terangsang ( terutama pada orang tua ) hebat sehingga bahkan jantung dapat berhenti. Masalah waktu juga sangat penting. Kadang-kadang jarum suntik belum dicabut, pasien sudah Shok anafilaktik. Sebaiknya Injeksi spuit berisi Adrenalin selalu tersedia disamping kita bila kita akan menyuntik pasien. Pada ksus ini yang lemas bukan hanya pasien, tetapi juga dokternya. Amit-amitlah….. Cukup mengalami 3 kasus Shok ana. saja. Not any more. Untuk menghindari kasus ini ada cara untuk mentesnya yaitu dengan menyuntikkan obat yang akan disuntik kedalam kulit pasien ( skin test ) . Bila dalam waktu sampai 15 menit, kulit tidak merah, tidak gatal, tidak bengkak berarti obat tadi aman. Tapi nyatanya tes kulit yang tidak apa-apa ( hasil test yang negatip ) toh menyebabkan Shok ana.
c. Salah diagnose:
Kasus ini juga sangat merugikan pasien.
Contoh Kasus:
Seorang T.S. mempunyai pengalaman cukup pahit. Ia mendiagnose Gastritis acuta ( sakit maag ) kepada seorang bapak, 45 tahun, yang mengeluh nyeri ulu hati sejak beberapa jam yang lalu. Pasien diberi resep obat Maag. Keesokan harinya ia mendapat berita bahwa pasien telah meninggal dunia. Ketika pulang nyeri ulu hatinya pindah ke dada sebelah kiri ( daerah jantung ). Pasien mengira penyakitnya bekum sembuh dan obat maag tetap diminum. Ia minum obat yang tidak benat karena salah diagnosa penyakitnya. Akibatnya penyakitnya tidak mendapat terapi dengan tepat dan dengan segera. Rupanya ia mendapat serangan Jantung ( hear attack ) yang tidak terdiagnosa. Jadi harus hati-hati bila menderita nyeri ulu hati. Akhirnya pasien meninggal dunia. Sungguh tragis….
2. Duka dalam hal Waktu:
a. Ingin berobat kapan saja:
Pasien adalah orang yang menderita sakit dan ingin agar ia menjadi sehat kembali. Pasien menganggap bahwa Dokter siap 24 jam artinya pasien bisa minta pertolongan kapan saja dalam waktu 24 jam. Padahal hanya para dokter yang bekerja di Rumah Sakit saja yang bertugas selama 24 jam, itupun terbagi dalam 2 giliran jaga setiap 12 jam. Jadi setiap dokter atau kelompok dokter mendapat giliran selama waktu 12 jam setiap ia medapat giliran jaga. Saya pernah diminta bantuan oleh pasien misalnya pada jam 14.30 ( saat istirahat ), jam 23.00 ( saat istirahat ), jam 04.30 ( saat istirahat ) atau jam 05.45 ( saat akan pergi ke gereja ). Padahal masyarakat tahu bahwa di setiap papan nama praktek dokter jelas tertulis kapan jam buka prakteknya, yang tertulis jam 16.00 – 18.00 setiap hari kerja ( jadi bukan 24 jam setiap harinya ). Alasan klise yang dikemukakan pasien/keluarga pasien adalah karena sakitnya saat itu ( tak peduli jam berapa saja ). Sebenarnya pasien bisa minum obat yang ada dalam persediaan dirumah dahulu untuk meredakan sakitnya sementara menunggu jam praktek dokter atau kalau keadaannya mengkhawatirkan pasien dapat pergi ke UGD ( Unit Gawat darurat ) di setiap Rumah Sakit Pemerintah /Swasta yang akan memberikan pelayanan kesehatan selama 24 jam. Kalau saya menolak secara halus, pasien ngomel bahkan sampai marah-marah dan berkilah bahwa ia sudah biasa berobat kepada saya. Ya betul, tetapi kalau jam 24.00 kan bukan biasanya, tetapi luar biasa. Mengapa tidak ke UGD saja? Sulit menjelaskan hal ini kepada mereka. Apalagi bila mereka mengharapkan saya sebagai dokter yang datang kerumah pasien dengan alasan pasien tidak dapat berjalan atau sakitnya parah. Wah… dalam keadaan saat ini yang tidak terjamin factor keamanannya, saya sulit menerima panggilan yang demikian. Kemarahan mereka sering kali mengusik pikiran saya. Memang resiko menjadi dokter…….
b. Sudah buat janji tetapi tidak datang:
Kejadian pasien ingin berobat pada jam ( per telepon ) sebelum jam praktek dimulai dan saya menyanggupi asal datang secepatnya, jangan lebih dari ½ jam, karena saya ada keperluan lain sehingga saya harus meninggalkan rumah ( pergi ke kantor pos, ke bengkel mobil, membeli bahan makanan dll ). Setelah ditunggu sampai ½ jam tidak datang juga, bahkan sampai jam praktek dimulai juga tidak datang. Saya tidak habis piker: apa sih maunya pasien ini? Hanya main-main, mendadak sudah sembuh penyakitnya ( toh mereka bisa memberitahukan per telpon juga bahwa mereka tidak jadi berobat ) atau saya yang salah dengar ( rasanya telinga dan pikiran saya masih waras kok ). Kalau alamatnya di luar kota, ya masih dapat dimaklumi ( mungkin ada kemacetan di jalan dsb ), tetapi kalau alamatnya di dalam kota Cirebon rasanya tak masuk diakal, sejauh-jauhnya jarak toh dalam waktu ½ jam pasti sampai ( meskipun mereka naik becak ).
3. Duka dalam hal tempat:
Masalah tempat juga bias menjadi ganjalan pikiran.
Misalnya:
a. Ada pasien yang masuk ruang periksa saya untuk minta dicabut/ditambal giginya, padahal saya bukan dokter gigi ( kebetulan tetangga saya seorang dokter gigi yang buka praktek pada jam praktek yang sama ). Rupanya pasien masuk tanpa melihat papan nama saya. Kejadian ini sudah berulang kali bahkan ada yang sudah duduk di kursi dalam ruang praktek saya. Akhirnya saya menyatakan bahwa saya bukan dokter gigi tetapi dokter umum, mereka tampak malu dan keluar ruang periksa sambil tersenyum kecut karena sakit gigi.
b. Staf atau rekan sekantor yang bukan dokter sering kali “menodong” saya ketika bertemu dimana saja dalam lingkungan kantor, di kantin, di ruang rapat atau bahkan ketika mengikuti rapat bulanan di kantor kecamatan. Mereka minta resep baik untuk diri sendiri atau untuk keluarganya. Padahal saya tidak melihat pasiennya atau memeriksanya, jadi saya menulis resep berdasar tanya jawab saja ( jadi Terkun lagi deh ). Ingin menolak permohonan mereka, saya tidak enak. Ya saya sering kali menghadapi keadaan yang dilematis. Kalau keadaan memungkinkan saya jawab, datanglah sore hari di tempat praktek saya dan saya akan menolongnya. Biasanya mereka tidak mau. Maunya apa? Maunya gratis saja. Enak saja kan? Minta resep saat itu juga dan tanpa membayar ( meskipun untuk kertas dan biaya cetak blangko resep ). Akhirnya saya katakan, “Sorry, saat ini saya tidak membawa blangko resep. Jadi saya tidak bisa memberikan resep kepada Anda.” Alasan ini cukup ampuh bagi mereka yang ingin “menodong” saya.
4. Duka dalam hal uang jasa:
Ada pasien yang menganggap uang jasa pelayanan dokter terlalu mahal atau terlalu murah terghantung social-ekonomi pasien.
a. Terlalu mahal?
Seorang nenek berkeberatan, membayar Rp. 5.000,- ( tahun 1995 ) karena katanya ia biasa membayar Rp. 2.000,-. Betul, tetapi itu kira2 5 tahun yang lalu dan sekarang sudah berubah , terbukti dari harga barang-barang juga sudah berubah. Saya jawab dengan tersenyum,” Baiklah bila begitu maunya Nenek. Nenek tak usah membayar uang jasa pelayanan. Ini ballpoint untuk menulis dan ini kertas resep. Silahkan Nenek menulis sendiri resep obatnya.” Si Nenek menjawab ” Lho, saya kan bukan dokternya.” Lalu saya katakan “Nah itulah, nenek yang jadi pasien dan saya dokternya. Jadi Nenek harus membayar jasa pelayanan sesuai yang berlaku saat ini, bukan 5 tahun yang lalu.” Padahal pasien yang lain saya pungut Rp. 7.500,- ( lebih mahal dari padanya ) jadi ia sudah mendapat diskon. Akhirnya Nenek itu memberikan uang 1 lembar Rp. 20.000,- an. Ternyata ia punya uang cukup dan bahkan melebihi dari besarnya uang jasa pelayanan. Kita harus panjang sabaaaar…… menghadapi pasien type demikian.
b. Terlalu murah?
Suatu hari Minggu, kebetulan saya mendapat giliran jaga kota ( di tempat praktek sendiri ), pagi jam 08.00-12.00 dan sore jam 16.00-19.00. Mendapat giliran jaga kota ini berlangsung setiap 3 bulan sekali jaga.
Saat itu tahun 1996 jam 10.30 datang berobat seorang bapak yang berasal dari Jakarta. Ia menderita Flu berat. Setelah mendapat pemeriksaan dan resep obat, ia bertanya”Berapa, dok.” Saya menjawab “Sepuluh ribu rupiah.” Pasien bertanya lagi “Berapa, dokter?” Saya jawab “Sepuluh ribu rupiah“. Ia berkomentar “Kok murah sekali, dok” ( ngeledek nih yee… ). Saya jawab “Kenapa?” Pasien berkata “Kalau di Jakarta saya berobat bayarnya dua puluh ribu rupiah, sekali periksa.”Saya jawab“ Mungkin dengan obatnya sekalian “ Ia jawab “Tidak, dok. Biaya periksa saja dan tanpa disintik lagi“. Saya jawab “Ya sudah, Bapak bayar sama saya dua puluh ribu saja“ ( sambil tersenyum guyon ). Ia protes, katanya “Ya.. tidak mau dong. Saya bayar yang dokter sebut tadi.” Akhirnya pasien membayar uang jasa yang dianggapnya lebih murah dari pada di Jakarta. Pasien yang sombong ini ketika diminta uang jasa yang sama dengan di Jakarta, menolak. Padahal mencari dokter yang buka praktek pada hari Minggu juga tidak mudah. Ya harus panjang sabaaar… Keep smiling aja deh….
5. Duka dalam hal Apotik:
Urusan ini juga sering kali menjengkelkan saya.
Contoh kasus:
a. Seoarng gadis, 18 tahun dengan diantar ibunya dating berobat dengan diagnosa Gastritis acuta ( sakit maag ). Karena social-ekonominya yang kurang, maka saya menuliskan resep obat berupa 3 macam obat Generik dan bukan obat yang paten yang harganya jauh lebih mahal. Perkiraan saya harga obat itu tak lebih dari Rp. 20.000,- 15 menit kemudian telepon saya berdering, yang ternyata dari salah satu apotik . Ibu pasien berkata “ Dok, harga obatnya puluhan ribu. Saya tidak dapat menebusnya . Kata apotik ada 1 macam obat yang harganya sekitar Rp. 8.000,-/tabletnya.” Lalu saya bicara dengan petugas apotik “ Berilah obat generic saja sesuai yang tertulis di resep, sehingga harganya terjangkau oleh pasien” Ada 1 macam obat yaitu Omeprazole tablet yang harga generiknya sekitar Rp. 2.000,-/tablet. Kalau di berikan 3 tablet non generic harganya sudah Rp. 24.000,- ditambah harga 2 jenis obat yang lain, tentu menjadi lebih mahal dari yang saya perkirakan. Itulah sebanya dikertas resep obat ada tertulis “ Resep jangan diganti tanpa sepengetahuan Dokter”, artinya bila mau mengganti obat harus memberitahukan dokter terlebih dahulu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti contoh kasus di atas.
b. Suatu hari Minggu kira-kira 10 tahun yang lalu, seorang bapak ( yang ternyata teman sekolah di SD, sudah lima belas tahun tidak bertemu ) datang meminta pertolongan untuk bayinya yang berumur 1 tahun dengan keluhan : demam sejak 3 hari yang lalu, sedikit batuk, tidak selera makan. Ia minta saya memberikan bantuan untuk bayinya. Berdasar tanya jawab dari ayahnya ( jadi Terkun lagi nih…..), saya menuliskan 1 macam obat berupa puyer sebanyak 10 bungkus. Saya katakan semoga bermanfaat, maaf saya tidak punya puyer untuk anak anda dan ambillah obat di apotik jaga yang hari ini buka. Di atas resep obat tersebut saya tuliskan “pasien tidak mampu“ dengan maksud agar apotik memahaminya. Teman saya pergi dan 15 menit kemudian telepon saya berdering, ternyata dari apotik jaga. Petugas apotik berkata “Dokter, pasien ini tidak punya uang.” Saya jawab “ Saya sudah tahu, berikan saja obatnya, karena apotik kan punya fungsi sosial bagi orang yang tidak mampu. Kepada saya juga ia tidak membayar kok”. Ia berkata lagi “Ya, tetapi penanggung jawab apotik ( apoteker ) nya tidak ada di tempat dan si pemilik apotik juga sedang tidak ada di tempat. Jadi kami tidak bias memutuskannya.” Saya katakan “Ya sudah kalau begitu “ Telepon ditutup. Saya berpikir, berapa sih harga 10 bungkus obat yang terdiri dari: amoxycilin, paracetamol, ctm dan luminal, yang semuanya obat generik, tentu tidak lebih dari Rp. 4.000,- Kalau begitu bagaimana kalau saya bantu dengan cara meminta agar nota pembelian obatnya ditagihkan ke saya saja dan bukan kepada teman saya tadi. Saya menelepon apotik tadi dan saya katakan “Buatkan saja puyernya dan uangnya silahkan diambil di rumah saya.” Petugas apotik menjawab “Dok, orang tua pasiennya sudah meninggalkan apotik dan saya tidak melihatnya lagi di luar ruang apotik”. Glek… saya menyesal karena 2 hal: saya terlambat membantu teman saya dan menyesal bahwa apotik sedikitpun tak mau membantu pasien yang tidak mampu meskipun hanya ½ dari jumlah obat yang datang berkunjung ke apotik. I am very sorry my friend………….
*****.