Lalu bagaimana kaitannya dengan yang terjadi di Fukushima? Seperti telah diketahui, semuanya berawal dari gempa dan kemudian tsunami. Ketika gempa terjadi, sistem proteksi segera berfungsi yang kemudian memadamkan reaktor. Ini salah satu fitur yang perlu diacungi jempol.
Pada saat itu, di dalam reaktor sudah tidak ada reaksi fisi. Akan tetapi masih ada energi dari peluruhan radioaktivitas, seperti yang saya sebutkan di atas. Pada saat reaktor padam, masih ada 7% dari 1533 MW dari peluruhan, atau sebesar 107 MW. Sebagai perbandingan, daya di reaktor GA Siwabessy di Serpong sebesar 30 MW. Dalam kondisi semacam ini maka salah satu sistem pendinginan yang disebut dengan RHRS () akan mulai beroperasi (aspek ”Cool”). RHRS ini berfungsi untuk mengalirkan air pendingin ke dalam reaktor sehingga bahan bakar tidak menjadi terlalu panas. Karena Fukushima adalah reaktor buatan tahun 60-an, kemungkinan sistem RHRS ini berfungsi secara AKTIF. Artinya untuk mengalirkan pendingin diperlukan pompa yang jelas membutuhkan energi listrik. Sistem ini kenyataannya berfungsi.
Akan tetapi sekitar satu jam kemudian, generator listrik cadangan untuk menjalankan pompa tidak berfungsi karena ada tsunami. Akibatnya aliran pendingin menjadi tidak efektif. Dalam jargon nuklir, situasi ini dikenal dengan istilah LOFA (), yaitu air pendingin tetap ada tetapi tidak mengalir. Akibatnya lagi panas yang dihasilkan di bahan bakar akibat peluruhan radioaktif tidak bisa ditransfer ke pendingin dengan baik dan menyebabkan naiknya temperatur bahan bakar dan pendingin.
Ada dua fenomena yang kemudian dapat terjadi. Pertama, dengan naiknya suhu pendingin, ada kemungkinan terjadi proses penguapan/pendidihan jika suhu pendingin melebihi titik saturasinya. Jika proses ini berkelanjutan, akibatnya adalah bagian atas dari reaktor menjadi tidak tertutupi cairan, akan tetapi uap air. Jika telah terjadi kondisi semacam ini, maka kemungkinan terjadinya pelelehan bahan bakar menjadi besar.
Jika bahan bakar meleleh, maka material radioaktif yang tadinya ada di bahan bakar akan ikut terlepas ke sistem pendingin. Di sinilah pentingnya aspek ”Contain”. Kedua, seiring dengan naiknya suhu bahan bakar, suhu selongsong juga ikut naik. (Selongsong adalah material yang membungkus bahan bakar, terbuat dari paduan logam ). Dalam kondisi normal suhu selongsong berkisar antara 330-350 derajat Celsius. Akan tetapi, pada suhu yang tinggi di atas 900 derajat Celsius, zirkonium akan mengalami oksidasi karena beraksi dengan air pendingin.
Zr + 2 H2O –> ZrO2 + 2 H2
Dari reaksi tersebut, terlihat bahwa akan dihasilkan gas hidrogen. Laju reaksi pembentukan hidrogen ini sangat tergantung dari suhu, semakin tinggi suhu, semakin banyak hidrogen yang dihasilkan. Jadi di sini ada dua jenis material berbentuk gas yang kemungkinan terbentuk, yaitu uap air dan hidrogen.
Oleh karena itu, tekanan di dalam reaktor akan semakin meningkat ( ini, maka baik uap air maupun hidrogen akan terakumulasi di antara sungkup reaktor (terbuat dari baja) dan bangunan reaktor (beton).
Ilustrasi PLTN Fukushima I unit 1 (sumber : Tehnik Fisika UGM)
Sampai saat ini belum jelas apa yang terjadi sebenarnya, akan tetapi dugaan saya hidrogen yang terakumulasi tersebut mengalami reaksi dengan oksigen dan terjadi apa yang disebut dengan . Inilah yang menyebabkan ”meledaknya” bangunan Fukushima 1 unit 1.
Berdasarkan press conference yang diadakan oleh pemerintah Jepang, dinyatakan bahwa pengungkung reaktor masih aman dan tingkat radioaktivitas menurun. Oleh karena itu saya menduga:
Tidak ada core melt.
Mengingat peristiwa ini berlangsung sekitar 1 hari setelah gempa, maka panas peluruhan telah berkurang dari 7% menjadi 0,5% atau sekitar 7,5 MW.
2. Pelepasan radioaktivitas ke lingkungan sangat minimal karena pengungkung masih utuh dan terjadi di ruangan antara pengungkung dan bangunan reaktor
3. Saya ulangi lagi di sini:
Sistem proteksi berfungsi, terbukti reaktor padam ketika gempa terjadi.
Sistem RHR juga berfungsi, sampai dengan 1 jam ketika tsunami melanda. Panas peluruhan telah turun menjadi 2% atau 31 MW. Kejadian ini dapat dihindari seandainya sistem RHR menggunakan sistem PASIF, yang artinya untuk mendinginkan reaktor tidak lagi mengandalkan pompa, melainkan dengan memanfaatkan perpindahan panas konveksi alami. Dengan demikian, seandainya benar-benar terjadi station blackout, maka proses pendinginan tetap berlangsung.
PLTN-PLTN generasi baru (gen III, dst) yang akan dibangun di beberapa negara (termasuk Indonesia???) sudah menggunakan sistem pasif ini.
Sistem pengungkung berfungsi, mengingat ledakan yang terjadi tidak mengganggu fungsi dan struktur pengungkung.
Dengan demikian aspek 3C (Control, Cool dan Contain) tetap berfungsi, meskipun dalam kondisi gempa yang parah. Akibatnya pelepasan radioaktivitas ke lingkungan adalah minimal.
Sumber