Kasus Ahmadiyah: Antara Pengalihan Isu Dan Stigmat

Mulyanto
(Pemerhati Sosial Politik, Anggota PSPI –Pusat Studi Peradaban Islam- Solo
Orang boleh berbeda pendapat. Boleh juga menilai suatu kasus dengan perspektifnya masing-masing. Saya termasuk orang yang berbeda ketika melihat kasus Ahmadiyah ini. Bagaimanapun, kasus Ahmadiyah sangat bernilai jual bagi media. Apakah kasus ini muncul secara alami, tepat waktu atau memang ada 'design' khusus. Yang Jelas, korbannya adalah umat Islam. Media secara langsung menggiring bahwa umat Islam tidak toleran, melanggar HAM, sadis dan kejam tanpa melihat persoalan dengan utuh.
Kasus yang hampir serupa, bagaimana media melakukan stigmatisasi negatif terhadap umat Islam adalah peristiwa Ciketing. Peristiwa yang terjadi akibat provokasi pihak Kristen juga dibalikkan menjadi provokasi umat Islam. International Crisis Group (ICG), lembaga yang bermarkas di Brussels Belgia ini merilis laporan yang secara blak-blakan mempublikasikan hasil investigasi yang panjang dari berbagai sumber bahwa akar masalah di balik insiden Ciketing adalah maraknya gerakan kristenisasi di Bekasi yang sebagian besar didanai dari luar negeri.
ICG mengungkapkan betapa gencar gerakan Kristenisasi di kawasan tersebut. Di sana ada Sekolah Alkitab Terampil dan Terpadu (Integrated Bible Training School) yang dijalankan Edhie Sapto, seorang Madura yang dulu beragama Islam. Anehnya, seluruh pamplet dan atribut sekolah bertuliskan Arab tapi mengajarkan Bibel. Lebih aneh lagi, sekolah yang dulu di bawah Yayasan Kaki Dian Emas dan kini Yayasan Bethmidrash Talmiddin itu, menurut laporan ICG, mensyaratkan setiap siswanya bisa diluluskan setelah mengkristenkan 10 orang.
Kembali kepada kasus bentrokan antara warga dengan Ahamdiyah yang terjadi di di Cikeusik, Pandeglang, Banten, saya termasuk orang yang percaya akan muncul kasus besar berbarengan dengan serangan bertubi-tubi yang dialamatkan kepada penguasa. Kasus Gayus Tambunan yang tidak kunjung usai, belum lagi 'perang' baru antara KPK dengan sejumlah anggota DPR, khususnya penolakan mereka terhadap kehadiran Bibit S. Riyanto dan Candra M. Hamzah. KPK dianggap tebang pilih dalam menangani kasus korupsi terutama terhadap kasus-kasus yang menyangkut oposisi. Sementara kasus korupsi yang melibatkan penguasa, KPK tidak dengan sungguh-sungguh menanganinya.
Sebelum kasus tersebut muncul, presiden dibuat bagai bola pimpong. Ungkapan gajinya belum naik selama 7 tahun dianggap sedang meminta kenaikan gaji ditengah kesulitan ekonomi yang mencekik rakyat. Muncullah gerakan pengumpulan koin untuk gaji presiden, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap kasus Prita Mulyasari. Kalangan istana menganggap pengumpulan koin untuk presiden bentuk penghinaan terhadap simbol Negara. Belum lagi kritik kalangan agamawan yang menganggap presiden banyak melakukan kebohongan publik.