Sebelum TS bicara panjang x lebar mengenai opini ini, perlu TS kasih catatan bahwa opini ini bukan bermaksud SARA atau tendensius terhadap Agama tertentu...akan tetapi TS hanya mencoba menggali nilai filosofis dari Imam Sholat yang bisa dijadikan contoh oleh para "Pemimpin" di negeri ini...
Adapun nilai-nilai yang berhasil TS gali antara lain adalah sebagai berikut :
: Syarat-syarat yang ketat
syarat-syarat berikut harus dipenuhi untuk menjadi sah-nya seorang imam dalam sholat berjamaah yang dapat kita ambil nilainya sebagai "perlunya fit and proper test" bagi para calon pemimpin, yaitu :
- Lebih banyak mengerti dan paham masalah ibadah sholat.
- Lebih banyak hapal surat-surat Alquran.
- Lebih fasih dan baik dalam membaca bacaan-baca'an sholat.
ketiga syarat diatas dapat diambil analogi bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, seseorang harus mempunyai kecakapan,kemampuan,kebijaksanaan dan kompetensi yang lebih tinggi dari yang dipimpinnya. Jadi syarat utama untuk menjadi pemimpin itu adalah standar kompetensi yang tinggi dan bukan "PENCITRAAN".
- Lebih senior / tua daripada jama'ah lainnya.
syarat ke empat ini digunakan apabila ketiga syarat sebelumnya tidak terpenuhi alias semua anggota sholat memiliki kualitas yang setara. Syarat ini dapat dianalogikan sebagai jumlah pengalaman yang sudah lebih banyak daripada yang dipimpinnya, apabila dari syarat kompetensi ternyata semua anggota yang dipimpin memiliki standar kompetensi yang setara. Hal ini sangat logis, mengingat ketika suatu organisasi terbentur dengan suatu permasalahan yang sulit dipecahkan dengan prosedur normal, maka pengalamanlah yang berbicara....
- Tidak mengikuti gerakan shalat orang lain.
maksud dari syarat ini adalah orang yang dijadikan imam itu tidak sedang menjadi makmum. Syarat ini dapat dianalogikan sebagai "NETRALITAS" seorang pemimpin. Syarat ini mutlak diperlukan bagi "pimpinan tertinggi" suatu organisasi, bahwa dia harus terbebas dari segala kepentingan diluar organisasi yang dapat berakibat merugikan. Jangan sampai seorang pemimpin hanya mementingkan sekelompok tertentu orang gara-gara dia telah dibiayai dalam kampanyenya oleh orang itu sehingga ketika si pembiaya tersebut kena masalah hukum si pemimpin tidak berani mengambil tindakan hukum yang tegas.
- Laki-laki. Tetapi jika semua makmum adalah wanita, maka imam boleh perempuan.
Syarat ini mungkin bagi sebagian kita untuk dianalogikan cukup sulit dan bahkan menimbulkan pro dan kontra. Akan tetapi menurut pendapat TS, sifat naluriah wanita yang cenderung memiliki temperamen lebih sensitif (cepat berubah-ubah sebagai akibat dari kodratnya terkait dengan saluran reproduksi) dari seorang lelaki, adalah sebuah kelemahan untuk seorang pemimpin yang notabene dituntut "ketenangan" dalam mengambil keputusan. Hal ini tidaklah menutup pintu untuk partisipasi wanita, akan tetapi lebih kepada mengurangi beban berat untuk dibebankan kepada para wanita. Maksudnya wanita tetap dapat berpartisipasi melalui sektor yang llebih bersifat "supporting" dan bukan yang bersifat "leading"
: Dipillih bukan mencalonkan
Nilai selanjutnya diluar persyaratan adalah mengenai prosedur pemilihan. Dalam sholat berjama'ah imam itu dipilih, bukan mencalonkan. Idealnya, orang yang menjadi imam sholat berjama'ah adalah orang yang dipandang paling mampu dan disukai oleh para jama'ahnya. Umumnya orang yang ditunjuk sebagai imam akan menunjuk/mempersilahkan/menawarkan kepada orang lain yang dia pandang pantas untuk menjadi imam. Akan tetapi apabila jama'ah termasuk orang yang ia tunjuk lebih memilihnya untuk menjadi imam, maka mau-tidakmau dia akan maju sebagai imam. Hal ini tentu saja karena dia tahu bahwa ada konsekuensi yang berat menunggu seorang imam sholat berjama'ah. Begitu pula analogi terhadap seorang "pemimpin", seharusnya dia adalah orang yang dipilih oleh anggota yang dia pimpin dan seharusnya dia lebih merasa berat atas tanggungjawab yang akan dilimpahkan kepadanya daripada nilai ekonomis yang mungkin akan dia terima.
: pergantian imam
mengenai hal ini dimungkinkan dalam sholat berjama'ah, yaitu ketika sang imam kentut (hadats kecil),terkena najis, maupun hadast besar, maka dia harus meninggalkan posisinya untuk diteruskan oleh salah seorang makmum yang ada di shaf paling depan. Kemudian dia bisa masuk kembali ke jama'ah untuk mengisi shaf paling belakang tentu setelah dia mensucikan diri dengan wudlu' maupun mekanisme pensucian lain sesuai tingkat pembatalnya.
Nilai filosofis yang dapat diambil, adalah ketika seorang pemimpin telah berhalangan karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, atau terbukti "bersalah" maka dia harus "tahu diri" untuk mundur dari jabatannya dan diserahkan kepada penerusnya.
Khusus mengenai nilai filosofis terakhir, TS ingin menyoroti salah seorang "pemimpin" kita, sebut saja namanya NURDIN SH**T, ini bukan Nurdin Halid loh ya..... tapi yang TS maksud adalah orang ini nih :

Jadi ketika dia sudah jelas-jelas terbukti bersalah atas kasus korupsi, apalagi telah divonis penjara....sudah seharusnyalah dia mundur dari jabatan dan digantikan oleh orang lain yang lebih kompeten. Jangan sudah terkena najis, hadas, dsb masiiiiih aja enak-enakan nongkrong di kursi ketum PSSI....kapan PSSI bisa maju kalo dipimpin oleh orang yang sudah tidak memenuhi syarat kepemimpinan???
demikian opini dari TS, dan TS membuka pintu selebar-lebarnya untuk kritik dan saran dari komandan semuanya....