Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis yang sudah menjadi bagian Negara Indonesia.
Bahkan, jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan.
Mulai dari saat terbentuknya Republik Indonesia yang berhaluan Demokrasi Pancasila,
maka sejatinya orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia
digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia
setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka
yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu.
Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa
kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok.
Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Hal tersebut terjadi dimulai dari tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas
dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat.
Tokoh penggeraknya adalah Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok dengan mendirikan Republik China pada tahun 1911.
Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia.
Aspek Kehidupan yang paling signifikan adalah bisnis perdagangan yang mereka geluti.
Sebagian besar masyarakat Tionghoa di Indonesia memang bergerak dalam bidang perdagangan.
Bahkan, monopoli perdagangan di Indonesia bahkan dunia sudah dipegang oleh perusahaan Tionghoa.
Di Indonesia sebut saja, jaringan Bisnis terkuat didominasi oleh PT SAMPOERNA, PT DJARUM, PT ARTHA GRAHA
yang notabene kepemilikannya dipegang oleh orang-orang keturunan Tionghoa.
Saat ini kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini.
Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat tekanan rezim Orde Baru,
banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal,
meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka.
Salah satu warga keturunan Tioghoa yang berhasil kami wawancarai ialah Sukim Chandra.
Ia seorang pria yang sudah berusia 55 thn.
Ia mempunyai marga Tjen, jadi nama cina nya ialah tjen fan kong.
Sukim mengatakan bahwa pada rezim tersebut,
masyarakat tionghoa seakan terabaikan dan menjadi kaum minoritas.
Orang Tionghoa menjadi konotasi yang negative.
Diskriminasi kental terasa pada saat itu.
Contoh sederhananya adalah dalam hal pelayanan publik.
Pembuatan KTP masih berstatus WNI keturunan, hal ini tentu saja menyusahkan dalam keseharian mereka.
Hal yang paling terasa adalah ketika mencari pekerjaan.
Etnis Tionghoa kerap dibelakangkan bahkan sama sekali tidak mendapat jatah dalam kursi PNS.
Karena itu, masyarakat Cina cenderung membangun usaha sendiri dengan berdagang.
Sifat ulet, hemat, dan teguh yang dimiliki etnis inilah yang menjadikan mereka berhasil seperti kebanyakan saat sekarang ini.
Namun seiring berkembangnya era Reformasi sekarang ini, mereka tidak takut lagi menunjukkan jati dirinya.
Masyarakat Indonesia secara keseluruhan juga mulai menerima dan menganggap bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia.
Kebudayaan-kebudayaan Tionghoapun perlahan mulai dikenal luas di Indonesia, seperti perayaan Imlek.
Tahun Baru Imlek adalah salah satu hari raya Tionghoa tradisional, yang dirayakan pada hari pertama dalam bulan pertama kalender Tionghoa, yang jatuh pada hari terjadinya bulan baru kedua setelah hari terjadinya hari terpendek musim dingin.
Namun, jika ada bulan kabisat kesebelas atau kedua belas menuju tahun baru, tahun baru Imlek akan jatuh pada bulan ketiga setelah hari terpendek.
Pada tahun 2005 hal ini terjadi dan baru akan terjadi lagi pada tahun 2033.
Imlek dirayakan di seluruh dunia,
termasuk di Pecinan di berbagai negara, dan merupakan hari raya terpenting bagi bangsa Tionghoa,
dan banyak bangsa Asia Timur.
Di Indonesia, selama 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum.
Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto,
melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967.
Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Sukim juga menjelaskan Hari besar bangsa Tionghoa lainnya,
yang juga dikenal hangat di masyarakat adalah Cap Go Meh,
melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar Tiongkok.
Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama.
Saat itu juga merupakan bulan penuh pertama dalam Tahun Baru tersebut.
