Agus Maftuh Abegebriel : Kedepankan Ayat Perdamaian Ketimbang Ayat Pedang
Saat tampil dalam bedah buku Islam Kosmopolitan karya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Graha Pena Kamis (29/11) lalu, Agus Maftuh Abegebriel secara lugas menolak politisasi agama. Pada acara yang diadakan Komunitas Tabayun itu, dia juga menentang kekerasan atas nama agama. Menurut dia, agama harus tampil lembut, ramah, dan rahmah.
"Agama harus tampil sebagai pemecah masalah dan bukan sebagai penambah masalah. Globalisasi sudah barang tentu meniscayakan adanya dialogue of civilizations dan bukan clash of civilizations. Agama harus bisa berinteraksi dengan nilai-nilai dan budaya lokal dan berjalan secara harmonis," terang Agus Maftuh kepada Jawa Pos.
Pria yang dibesarkan dalam dua iklim pendidikan, yaitu tradisional pesantren dan pendidikan modern di perguruan tinggi itu pun tak bisa tinggal diam untuk mewujudkan obsesinya. Dia aktif di banyak tempat untuk menebarkan Islam as Rahmatan lil Alamin. Berbagai dialog dia lakukan.
Maftuh akhirnya terlibat secara intens dalam meneliti dan mengkaji dinamika politik internasional dan dialog antaragama. Pada sisi lain, dia mengaku ingin terlibat dalam dialog antara "agama kanan" dan "agama kiri" untuk mengomunikasikan frame bersama menuju agama untuk perdamaian tersebut.
Maftuh juga terus berupaya menyelami, menimba ilmu dan pola pikir diskursus yang dia sendiri tidak sepaham. Misalnya, meski tidak sepaham dengan puritanical religious ideology atau pemahaman iconoclastic (penghancuran simbol-simbol keagamaan) yang dicanangkan komunitas Wahhabi, dia pada 1998 berkesempatan silaturahmi dengan ulama Wahhabi yang juga Grand Mufti Arab Saudi, yaitu Bin Baz. "Untuk menimba ilmu tentang pola pikir dan diskursus mazhab resmi negara petro dolar Saudi," terang pria kelahiran Semarang, 20 Juni 1966 itu.
Di setiap forum ilmiah, staf pengajar UIN Sunan Kalijaga itu selalu mengkritisi politisasi agama yang merupakan distorsi, pengoyakan ,dan pencabikan terhadap teks-teks suci keagamaan. Dia juga mengkritisi violence action yang sering mengatasnamakan membela kepentingan Tuhan. Permasalahan itu harus secepatnya menjadi tugas dan mujahadah ilmiah para intelektual muslim untuk mendiskusikannya secara multifaceted (semua sisi) dan multipronged (berbagai komponen).
Menurut dia, upholding Islam as rahmatan lil alamin akan bisa dibangun ketika landasan epistemologinya komprehensif dan holistik dalam memahami teks-teks keagamaan. Ayat-ayat perdamaian harus dikedepankan ketimbang ayat-ayat pedang. Pemahaman Islam harus dimulai dari khazanah turas qadim (warisan intelektual klasik) yang sudah terkodifikasikan dalam kitab kuning. Juga harus ada penguasaan terhadap "al-khitab al-muÂ’ashir" (wacana kemodernan) sehingga diharapkan muncul tatanan pola pikir yang tidak tercerabut dari akar sejarah.
"Saya khawatir intelektual sekarang terjangkiti penyakit jumping conclusion, kesimpulan lompat, yang sebenarnya tidak ditopang oleh epistemologi klasik," urai santri terbaik saat lulus dari PP Futuhiyyah, Mranggen ,Semarang Timur itu.
Agus sering harus bepergian ke luar negeri untuk terlibat forum-forum ilmiah yang membahas gerakan-gerakan transnasional. Mulai Singapura, Thailand, Jordania, Syria, Lebanon, dan Mesir. Dia mengaku beberapa kali silaturrahmi ke tempat tinggal Prof Hassan Hanafi, Prof Wahbah az-Zuhaili, dan juga Dr Gamal al-Banna, adik kandung pendiri Al-Ikhwan al-Muslimun. Beberapa bulan lalu dia diundang School of Political and Social Inquiry Monash University Melbourne, Australia, untuk visiting scholar selama 3 bulan.
Untuk kiprahnya ini, seorang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pun mengapresiasi dalam sebuah tulisan Agus Maftuh dan Pemikirannya di sebuah koran nasional. Gus Dur menyebut Agus Maftuh sebagai salah seorang pemikir muda NU (Nahdlatul Ulama) yang mempunyai daya pikir aktivis, bukan hanya pemikir. "Di samping seorang pemikir muda, dia aktivis di berbagai bidang kegiatan. Selain itu, dia pemerhati berbagai bidang kehidupan. Ini menjadikannya seorang yang mampu melakukan berbagai kegiatan sekaligus," ungkap Gus Dur yang beberapa bukunya disunting Agus Maftuh.
Pergulatan pemikiran Agus Maftuh terbangun lewat pendidikan yang dijalani di sejumlah pesantren. Dia pernah nyantri di Pesantren Kaliwungu, Kendal; PP Futuhiyyah, Mranggen, Semarang Timur; Bustanul Arifin, Batokan, Kediri, dan Al-Atiq Ngrangkok, Kandangan, Kediri. Lalu, secara formal menempuh pendidikan S-1 di Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Jogja, S-2 di jurusan Akidah Filsafat Pascasarjana, dan S-3 di kampus yang sama.
Di tempat inilah dia mendapatkan kawan diskusi seorang dosen yang menurutnya begitu mengasah pemikirannya. "Ada salah satu dosen yang sangat berpengaruh dan berkontribusi besar dalam mengarahkan pergumulan keilmuanku di IAIN ketika itu dan sampai sekarang. Seorang guru, orang tua, dan sekaligus sahabat, yaitu KH A. Malik Madany yang sekarang menjadi wakil katib Syuriah PB NU. Dia sangat memukau para intelektual Aljazair ketika bicara tentang Islam dan demokrasi," kisah ayah tiga anak itu.
Pemikiran Agus Maftuh juga bisa ditengok dalam buku tebalnya Negara Tuhan: The Thematic Ensyclopedia (2004). Salah satu poin penting dalam buku Negara Tuhan itu adalah radikalisme tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Ketika kelompok-kelompok radikal terus ditekan, kata dia, yang terjadi adalah teori spiral atau spring, yaitu akan terjadi arus perlawanan. Satu-satunya cara, kata Maftuh, harus dengan dialog.
Buku-buku lain yang menggambarkan pergulatan pemikirannya adalah Orchestra Iblis karya Robert Dreyfuss (2007, menulis pengantar), Islam Kosmopolitan karya Gus Dur (menulis pengantar dan editor). Dalam buku-buku tersebut secara lugas Agus Maftuh memaparkan pandangannya soal politisasi agama. (erwan widyar)