Maaf dan ganti rugi
Gambaran di atas mungkin merangsang pikiran kita, mengapa justru Indonesia yang membayar Belanda. Apakah tidak terbalik? Apakah bukan Belanda yang justru harus membayar ganti rugi? Dan apakah tidak seharusnya Belanda meminta maaf kepada Indonesia, seperti yang telah dilakukannya terhadap masyarakat Yahudi, karena adanya orang Belanda yang bekerja dengan Nazi untuk memusnahkan kaum Yahudi?
Layak untuk disimak tulisan Jan Breman, guru besar dari Amsterdam yang dimuat dalam Vrij Nederland Februari lalu saat Presiden Abdurrahman Wahid berkunjung ke Belanda. Menurut Breman, minta maaf saja tidak cukup. Minta maaf saja, itu cuma gratis. “Habis manis sepah dibuang,” demikian kurang lebih Jan Breman menggambarkan sikap Belanda.
Tenaga dan materi yang disumbangkan Hindia Belanda bagi Negeri Belanda demikian besar, sedangkan kondisi politik maupun ekonomi Indonesia sangat kacau dan lemah saat ditinggalkan Belanda. Untuk membangun stabilitas yang mantap saja sulit, apalagi masih harus membayar “imbalan kemerdekaan” sebesar hampir empat milyar gulden. Giebels tak habis pikir, bagaimana Belanda tega melakukan hal itu, padahal kepada Suriname (juga bekas jajahan Belanda) Belanda justru memberi hadiah sebesar dua milyar gulden pada tahun 1980-an. Baik Giebels maupun Breman menyebut sikap Pemerintah Belanda sebagai dubbele moraal atau hipokrit. Karena itu mereka mengimbau agar ganti rugi material juga dikaitkan dengan permintaan maaf Belanda terhadap Indonesia.
Pendapat Giebels dan Breman itu didukung oleh wartawan dan penerbit bersuara vokal Ewald van Vugt yang menekuni masalah kolonialisme Eropa. Van Vugt pernah menyoroti politik perdagangan candu Belanda di Hindia Belanda selama ratusan tahun dalam bukunya Wettig Opium (1985). Menurut dia, candu mulai jadi sumber penghasilan utama Belanda sejak tahun 1743. Antara tahun 1848-1866, laba perdagangan candu mencapai 155,9 gulden, yakni 8,2 persen pemasukan total dari tanah jajahan, dan 12,5 persen anggaran belanja total Negeri Belanda dan Hindia Belanda. Antara tahun 1860-1915, laba candu meningkat 15 persen per tahun dari seluruh pemasukan Belanda. Laba candu antara tahun 1904-1940 sebesar 465 juta gulden.
Bagaimana pemasukan luar biasa dari hasil perdagangan candu yang mendukung kesejahteraan negeri Belanda sampai tidak tercantum dalam catatan sejarah, merupakan teka-teki bagi van Vugt (disebutnya sebagai skandal). Tahun 1988, van Vugt kembali menerbitkan buku yang menggemparkan berjudul Het dubbele Gezicht van de Koloniaal (wajah ganda dari penjajahan). Buku tersebut memuat tanpa tedeng aling-aling hal-hal yang tabu dalam penulisan sejarah kolonial Belanda, seperti perdagangan candu dan budak, kerja paksa dan kekerasan senjata, agresi militer, peran propaganda dan sensor, barang berharga/seni arsip penting yang dirahasiakan seperti Rhemrev Rapport.
Prof Wertheim, seorang pakar sejarah Indonesia, memuji tulisan van Vugt sebagai langkah berani dalam menyingkap topeng penulisan sejarah yang tidak benar. Untuk itu, van Vugt pantas didukung secara serius.
Dalam tulisannya di Vrij Nederland yang berjudul Historici zonder Grenzen bulan Februari lalu, van Vugt kembali mengimbau agar para sejarawan bekerja sama dengan ahli hukum dalam menyikapi pelurusan sejarah kolonial, antara lain dengan menginventarisir utang-utang yang harus dibayar kembali oleh bekas penguasa terhadap bekas tanah jajahan. Hal serupa tengah dilakukan dalam pembayaran kompensasi korban warga Yahudi pada PD II.
Menurut van Vugt, Sorry zeggen is niet genoeg (kata maaf saja tidak cukup), karena kerugian dan penderitaan yang diakibatkan oleh penjajahan sangat besar untuk bisa diukur dengan ganti rugi materi belaka.