DENSUS 88 DAN PERANG MELAWAN ISLAM
Isu Densus 88 akan diinvestigasi oleh Australia mencuat. Gara-garanya Australia tidak terima atas perlakuan Densus terhadap separatis RMS. Autralia marah, sebab sebagaimana diakui oleh Kabidpenum Mabes Polri Kombes (pol) Marwoto Suto, negara itu memang mempunyai andil terhadap Densus dengan memberikan sejumlah paket bantuan untuk palatihan. Tentu saja ini adalah pengakuan terbaru dari pihak kepolisian. Selain Australia, penyandang dana Densus 88 adalah Amerika Serikat.
Untuk sekedar mengingatkan pembaca, kami menurunkan kembali tulisan jurnalis senior yang juga mantan Redpel Tempo, Amran Nasution, tentang Densus 88 dan Perang Melawan Islam yang beberapa tahun lalu dimuat di Tabloid Suara Islam. Selamat membaca!. (redaksi suara islam.com)
Detasemen Khusus (Densus 88) Anti-Teror Polri ternyata dibentuk atas biaya sepenuhnya dari pemerintah Amerika Serikat. Majalah “Far Eastern Ekonomic Review“ (FEER), edisi 13 November 2003, menulis bahwa pemerintahan Bush mengeluarkan biaya 16 juta dolar (Rp 150 Milyar ) Untuk membentuk detasemen yang punya 400 Anggota itu. Hal yang sama ditulis Koran “ Jakarta Post”, 6 September 2004, dan “Warta Kota”, 12 November 2003.
Laporan Congressional Research Service (CRS), Lembaga riset di bawah The Library Of Congress pada tahun 2005, memaparkan dengan rinci dana yang di keluarkan pemerintah Bush untuk Indonesia, termasuk untuk polri dan pasukan Anti – terornya. Misalnya, pada tahun 2004, Amerika Serikat memberikan bantuan $US. 5.778.000 tahun 2005 sebesar $ US 5.300.000.
Kenapa bantuan rutin diberikan? Karena Indonesia dianggap berjasa di dalam perang melawan teror. “Kontribusi Indonesia untuk “global war on terror “ adalah kepentingan vital Amerika Serikat,“ tulis laporan itu .
Melihat fakta dan data di atas, muncul pertanyaan : Bolehkah Polisi Kita bekerja sesuai dengan keinginan asing? pertanyaan kedua: bila itu benar, tidakkah itu bertentangan dengan UUD 1945?. Pertanyaan-pertanyaan itu bertambah penting, karena sekarang sudah terbukti, “ War on terror” adalah “ War on Islam” atau perang untuk menghancurkan Islam.
GLOBAL WAR ON ISLAM
Perang melawan teror diproklamirkan Presiden George W. Bush 20 September 2001. “Perang melawan teror tak akan berhenti sampai semua group teroris dunia ditemukan, dihentikan dan dikalahkan,” kata Bush. Pada kesempatan itu, Bush tak lupa menguraikan bahwa perang melawan teror adalah “crusade” Alias perang salib. Itulah perang tentara Islam dengan Kristen 1000 tahun lalu, untuk memperebutkan Yerusalem.
Proklamasi perang itu diikuti pengarahan pesawat tempur membombardir Afganistan, Oktober 2001, dengan dalih untuk menghancurkan teroris Al-Qaedah, Pemimpinya Usama Bin Laden , serta Rezim Taliban yang melindunginya.
Tak terhitung korban sipil yang jatuh. Afghanistan kemudian dijajah Amerika Serikat dan sekutunya. Sekitar 2.1 Juta warganya jadi Pengungsi ke Iran atau Negara lain. “War On Teroris” dilanjutkan dengan menyerang Irak pada 2003.
Untuk melengkapi infrastrukturnya dalam perang ini, Bush mendirikan penjara di Teluk Guantanamo, Kuba, dan penjara rahasia di Eropa dan Asia. Waktu menyerang Afghanistan, Bush berdalih untuk memburu Al-Qaeda. Lalu menyerang Irak karena Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Ternyata semua itu bohong. Senjata itu tak pernah ditemukan.
Di Palestina, Amerika dan sekutunya Israel mengadu Fatah dengan Hamas, Sunni diadu dengan Syiah di Lebanon dan Irak. Somalia, Negeri Islam yang amat miskin, di obrak-abrik. Survei yang dilakukan Zogby International, untuk Georgetown University, guna mengetahui sikap masyarakat muslim Amerika Serikat pada 2004, menunjukkan, mayoritas (38%) responden percaya bahwa sebenarnya “War on Terror “ itu adalah “ War On Islam”.
Menurut Zahid Buchari, Direktur Survei Zogby International, munculnya persepsi “War On Islam” akibat pernyataan menyerang Islam dari para pendeta pemimpin Kristen Evangelical Amerika Serikat, seperti Pat Robertson, Jerry Palwell (meninggal beberapa bulan lalu), dan Franklin Graham.
Padahal para pendeta itu dekat sekali secara politik dengan Gedung Putih, terutama dengan Presiden Bush. Buku “America Theocracy” (2006) yang ditulis Kevin Phillips, mantan ahli strategi partai Republik, bahkan menyebutkan, kini Partai Republik merupakan partai Kristen Fundamentalis pertama di dalam sejarah Amerika Serikat. Segepok indikator dan bukti ada di dalam buku itu. Dalam konteks ini menjadi jelas kenapa Bush menyamakan “War On Terror” dengan Perang Salib.
Survey oleh WorldPublicOpinion.org yang tadi dikutip di atas – didukung START Concortium dari University Of Maryland, menunjukkan bagaimana sikap umat Islam terhadap politik luar negeri Amerika. Survey dilakukan dengan jajak pendapat mendalam (in-depth poll) di empat Negara berpenduduk mayoritas Islam: Indonesia, Mesir, Maroko, dan Pakistan, dari Desember 2006 sampai Februari 2007.
Hasilnya, Mayoritas responden 4 negara itu, percaya bahwa Amerika Serikat berusaha menghancurkan dan memecah belah dunia Islam. Responden yang berpendapat seperti itu rata-rata 79 % dari mulai Indonesia 73 % sampai Mesir 92 %.
Dalam presentase yang sama besar (rata-rata 79%), Responden berpendapat, Amerika Serikat sedang berusaha menguasai sumber-sumber minyak di Timur Tengah. Malah dalam jumlah cukup besar (rata-rata 64 %), responden percaya bahwa tujuan Amerika Serikat adalah untuk menyebarkan Kristen di Timur Tengah.
Maka Arab Saudi yang selama ini dikenal dekat dengan Amerika Serikat kini tampak mulai bersikap lain. Koran “USA TODAY”, 1 September 2006, membuat laporan ketika Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi, Sheik Abdul-Aziz Al-Sheik, berkhutbah di Padang Arafah di musim haji 2006, yang dibanjiri lebih dari 2 juta jemaah.
bersambung...