Persekongkolan RI-Malaysia
Selasa, 7 September 2010 | 09 WIB

Demo TKI Tuntut Klaim Asuransi
Forumbebas.com Menanggapi konflik dengan Malaysia, Ketua DPR Marzuki Alie mendukung sikap lunak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasannya, dengan bersikap tegas terhadap Malaysia, Indonesia cuma akan mendapatkan harga diri. Sementara ada 2 juta TKI yang harus dilindungi.
Padahal, ketidaktegasan itulah yang membuat penganiayaan TKI terus berulang. Ketidaktegasan itu sendiri bisa menjadi isyarat adanya persekongkolan antara Indonesia dan Malaysia yang menghendaki bisnis jual beli TKI tetap aman terkendali.
Kebijakan Malaysia
Malaysia adalah pengimpor TKI terbesar. Setidaknya, 85 persen buruh migran di Malaysia adalah TKI. Angka ini menunjukkan bahwa ketergantungan Malaysia pada TKI sangatlah tinggi. Meski demikian, dari sudut pandang keselamatan manusia, Malaysia sudah tidak layak menjadi negara tujuan TKI.
Kebijakan Malaysia untuk buruh migran secara eksplisit melegalkan perbudakan. Bagi buruh migran yang bekerja sebagai PRT, misalnya, Malaysia menerapkan kebijakan yang membuat majikan bisa berganti-ganti PRT, tetapi PRT tidak punya hak untuk berganti majikan. Visa dan permit kerja PRT melekat pada satu majikan dan Malaysia memberikan wewenang kepada majikan menahan paspor PRT agar mereka tidak lari.
Ketika PRT mengalami penganiayaan, aturan yang diterapkan Malaysia menghambat mereka melaporkan kasusnya sebab pelaporan bisa berdampak deportasi. Kalaupun PRT berhasil melaporkan kasusnya, ada aturan lain yang menghambat mereka memperoleh keadilan.
Malaysia mewajibkan buruh migran yang menunggu penyelesaian kasus kekerasan untuk mengajukan permohonan visa khusus yang harganya 100 ringgit. Visa khusus ini berlaku hanya satu bulan.
Padahal, penyelesaian kasus kekerasan butuh waktu sampai empat tahun. Sementara pemegang visa khusus tidak diperbolehkan bekerja. Akhirnya TKI yang mengalami penganiayaan memilih untuk menyerah ketimbang memperkarakannya.
Kalaupun kasus penganiayaan itu berhasil dibawa ke pengadilan, pengadilan Malaysia condong berpihak pada kepentingan warga Malaysia. Dalam kasus penganiayaan Nirmala Bonat, majikan bisa bebas dari penjara hanya dengan membayar 200.000 ringgit.
TKI yang mengalami kekerasan di rumah-rumah majikan tak punya pilihan. Mereka terpaksa lari dari majikan dan menjadi TKI ilegal atau tetap bertahan dalam kondisi perbudakan. Setiap bulan 1.200-2.550 PRT lari dari majikan akibat kekerasan, gaji tidak dibayar, atau kondisi kerja berat. Dari jumlah tersebut, tidak sampai 10 persen yang ditangani KBRI.
Kebijakan Indonesia
Kebijakan Indonesia tidak kalah kejam dengan Malaysia. Malaysia melegalkan perbudakan, sementara Indonesia membuka peluang perdagangan orang. Sebab, pemerintah lebih banyak menyerahkan perlindungan TKI pada PJTKI. Mulai dari perekrutan, pelatihan, pengurusan dokumen, sampai penyelidikan kematian TKI di luar negeri diserahkan kepada PJTKI.
Yang terjadi, catatan International Organization of Migrant menunjukkan, 67 persen korban perdagangan orang direkrut PJTKI resmi.
Kalau kita simak isi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, 93 persen pasal bicara soal bisnis penempatan TKI. Hanya 7 persen pasal yang bicara tentang perlindungan TKI.
Undang-undang juga menciptakan konflik antara Kemennakertrans dan BNP2TKI yang kian memperlemah perlindungan TKI. Bisa dipahami, ketika 513 TKI meninggal di Malaysia pada tahun 2008, Presiden tidak tahu.
Ratusan TKI terancam hukuman mati, pemerintah juga terlambat tahu. Padahal, dari 513 TKI yang meninggal itu, 87 persen adalah TKI berdokumen. Menjadi TKI legal sekalipun tak terjamin keselamatannya.
Kini perlindungan TKI semakin buruk. Serikat Buruh Migran Indonesia mencatat, dalam dua tahun terakhir kasus penganiayaan TKI meningkat 39 persen, kasus kekerasan seksual meningkat 33 persen, kasus kecelakaan kerja meningkat 61 persen, dan kasus TKI sakit meningkat 107 persen.
Data BNP2TKI juga menunjukkan, proporsi TKI berkasus meningkat dari 12,6 persen pada tahun 2009 menjadi 21 persen pada tahun 2010.
BERSAMBUNG