Air Putih Bekal Menuju Istana

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Ibu Negara Ani Yudhoyono saat upacara Detik-detik HUT Kemerdekaan RI ke 65 di Istana Merdeka
"Menjawab permintaan yang aneh-aneh itu, Pak Mayar terkekeh. Pak Mayar menjawab tidak memberikan apa-apa kepada Pak Beye selain air putih yang juga dihidangkan kepada mereka yang kemudian bergelombang datang."
Dalam buku Wisnu Nugroho berjudul PAK BEYE dan Istananya banyak hal yang menarik untuk disimak karena unik, lucu dan lugas di luar dugaan rasional. Berikut ini tribunnews.com menyajikan satu judul "Air Putih Bekal Menuju Istana" yang menggelikan terkait rasionalitas dan irasionalitas dalam kehidupan Indonesia.
Setelah Pak Beye (demikian orang Jawa biasa memanggil Presiden SBY) terpilih dan tinggal di istana, Pak Mayar yang didatangi Pak Beye saat kampanye 2004 banyak dicari-cari.
Petani peladang di Cikeas Udik (kampung Pacitan) ini dicari calon lurah sampai calon bupati. Banyak petinggi yang masih ingin lebih tinggi jabatannya di Polri juga ikut mendatangi.
Menurut penuturan Pak Mayar di rumahnya, permintaan orang orang besar yang mendatanginya aneh-aneh saja. Intinya, mereka yang datang minta agar apa yang diberikan kepada Pak Beye sehingga bisa berada di istana diberikan juga kepada mereka.
Menjawab permintaan yang aneh-aneh itu, Pak Mayar terkekeh. Pak Mayar menjawab tidak memberikan apa-apa kepada Pak Beye selain air putih yang juga dihidangkan kepada mereka yang kemudian bergelombang datang.
Pak Mayar yang bersahaja dan penuh syukur itu, air putih diberikan kepada Pak Beye karena Pak Mayar tidak punya teh, kopi dan gula. Kalau Pak Mayar punya teh, kopi dan gula maka air putih tidak akan diberikan.
Kepada petinggi Polri yang ingin memiliki jabatan yang lebih tinggi lagi, Pak Mayar berujar, "Kalau ingin jabatan yang lebih tinggi lagi, minta ke Pak Beye, bukan ke Engkong (sebutan Pak Mayar untuk dirinya yang telah lanjut usia)".
Mereka yang datang menemui Pak Mayar tetap tidak peduli karena keyakinan mereka berkata lain. Setelah berbasa-basi dan meninggalkan sejumlah uang yang sama sekali tidak diminta Pak Mayar, mereka membawa pulang air putih dalam gelas yang disajikan istri Pak Mayar, namanya Mak Enti.
Air putih yang sama selalu disuguhkan kepada saya setiap lelah dengan rutinitas di Jakarta dan datang ke sana.
Terhadap "kegilaan" ini, Pak Mayar hanya tersenyum, tubuh rentanya yang bungkuk adalah tanda kerja kerasnya mencukupi kebutuhan hidup dengan mengolah ladang garapannya.
Seceret air putih yang sama selalu diantar Mak Enti untuk Pak Mayar di ladang garapannya. Bagi Pak Mayar, bekerja keras adalah mulia. Saya masih tetap terus mengenang Pak Mayar yang tetap hidup bersahaja.