Menurut Anifah, Malaysia siap menerima kedatangan delegasi Indonesia pimpinan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk membicarakan masalah-masalah bilateral dan mencari penyelesaiannya. Kedua pejabat tinggi itu direncanakan bertemu di Kinabalu 6 September mendatang.
Menteri Dalam Negeri Malaysia, Hishammuddin Hussein, berharap bahwa kedua negara bisa tetap menggunakan jalur diplomatik untuk mengatasi setiap masalah.
Hubungan kedua negara dalam beberapa pekan terakhir menegang setelah muncul insiden maritim pada 13 Agustus lalu. Saat itu tiga petugas dari Dinas Perikanan dan Kelautan Indonesia ditangkap Polisi Laut Malaysia ketika mereka menahan tujuh nelayan asal Negeri Jiran, yang diduga berada di perairan Indonesia secara tidak sah.
Insiden itu memunculkan kemarahan di Indonesia. Salah satunya, ketika kelompok Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) pada 23 Agustus lalu berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta.
Para demonstran membakar bendera Malaysia dan melempar tinja ke arah kedutaan. Aksi itu memunculkan kecaman di Malaysia sehingga menambah panas ketegangan bilateral.
Kedua pihak pun terus melontar kecaman. Padahal, Indonesia dan Malaysia masih belum menuntaskan sejumlah isu lebih penting, diantaranya penentuan perbatasan, dan perundingan atas perjanjian penempatan pekerja rumah tangga Indonesia ke Malaysia.
Pilar Asean
Yudhoyono memaparkan sejumlah pertimbangan mengapa Indonesia perlu mengedepankan diplomasi mengatasi pergesekan dengan Malaysia. Dia mengingatkan hubungan kedua negara sudah terbina sejak lama, dan kerugian besar turut diderita rakyat Indonesia bila gesekan itu dibiarkan berkembang menjadi kekerasan.
Pertama, Indonesia dan Malaysia mempunyai hubungan sejarah, budaya dan kekerabatan sangat erat dan mungkin paling erat dibanding negara-negara lain, serta sudah terjalin ratusan tahun.
Kedua, hubungan Indonesia dan Malaysia adalah pilar penting dalam keluarga besar ASEAN. ASEAN bisa tumbuh pesat selama empat dekade terakhir ini, antara lain karena kokohnya pondasi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia.
Ketiga, yang tak kalah penting, ada sekitar dua juta warga Indonesia yang bekerja di Malaysia – di perusahaan, di kantor, di perkebunan, dan di rumah tangga. "Ini adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang terbesar di luar negeri. Tentu saja keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia membawa keuntungan bersama, baik bagi Indonesia maupun Malaysia," kata Yudhoyono.
Sementara itu, sekitar 13,000 pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia, dan 6,000 mahasiswa Malaysia belajar di Indonesia. Di sektor pariwisata, wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia adalah ketiga terbesar dengan jumlah 1,18 juta orang, dari total 6,3 juta wisatawan mancanegara.
Di bidang ekonomi dan perdagangan, investasi Malaysia di Indonesia 5 tahun terakhir (2005-2009) meliputi 285 proyek investasi, berjumlah US$ 1.2 miliar, dan investasi Indonesia di Malaysia berjumlah US$ 534 juta. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai US$ 11,4 Miliar pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia – Malaysia sungguh kuat.
Meski demikian, hubungan khusus ini juga sangat kompleks. Hubungan ini tak bebas dari masalah dan tantangan. Presiden Yudhoyono percaya pada dalil diplomasi, bahwa semakin dekat dan erat hubungan dua negara, semakin banyak masalah yang dihadapi.
Selain masalah TKI dan perlindungan WNI, kedua negara kerap menjumpai masalah terkait dengan perbatasan. "Masalah ini memerlukan pengelolaan yang serius dari kedua belah pihak," kata Yudhoyono.
Karena itulah, menyadari kepentingan bersama ini, Presiden SBY dan Perdana Menteri Malaysia sering berkomunikasi langsung, di samping forum konsultasi tahunan. "Untuk memastikan isu-isu bilateral ini dapat kita kelola dan carikan jalan keluarnya dengan baik," ujar SBY.
Belajar dari insiden di perairan Pulau Bintan itu, pemerintah Indonesia berpendapat solusi paling tepat mencegah dan mengatasi insiden-insiden serupa adalah, dengan cara segera menuntaskan perundingan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia.
Perundingan ini menyangkut batas wilayah darat dan batas wilayah maritim, termasuk di wilayah selat Singapura, dan perairan Sulawesi, atau perairan Ambalat. Indonesia berpendapat perundingan batas wilayah ini dapat dipercepat. dan dibuat lebih efektif.
Perang bukan jawaban
Kalangan politisi dan pengamat menilai perang dengan Malaysia bukanlah pilihan bijak dalam menyelesaikan sengketa. Seperti dikatakan Ketua DPR Marzuki Alie, rakyat Indonesia agar tidak terprovokasi.
Masalah Malaysia harus diselesaikan dengan cara damai. Perang sama sekali tidak ada gunanya. "Menegakkan harga diri tidak hanya dengan perang," kata Marzuki di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 1 September 2010.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan The Indonesian Institute, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan kedua belah pihak akan sama-sama menderita jika perang jadi jawaban.
Jaleswari juga mengingatkan, warga Indonesia bisa saja bermodalkan semangat berkobar, tapi kita juga harus realistis. Malaysia adalah anggota aliansi Five Power Defence Arrangements (FPDA) bersama dengan Singapura, Selandia Baru, Australia, dan Inggris. Dengan kata lain, Malaysia bisa langsung mendapat dukungan dari sesama anggota FPDA.
"Jika Malaysia mengaktifkan klausul serangan terhadap satu negara anggota akan merupakan serangan terhadap anggota aliansi lainnya, maka kita bisa dikeroyok empat negara lainnya," kata Jaleswari.
• VIVAnews
SUMBER