Anggota DPR: Waspadai Terus Perbatasan Indonesia-Malaysia
Antara - 33 menit lalu
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahadi Zakaria menyatakan, semua pihak harus terus mewaspadai gangguan di perbatasan, terutama perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
"Negara tetangga selalu mencoba memamerkan `test case` untuk menguji kita, yakni sampai sejauhmana kesiapan Indonesia dalam menjaga kedaulatannya. Apalagi uji coba terakhir disertai aksi berani menyandera petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Menurut Rahadi Zakaria, aksi penyanderaan petugas KKP bukan hal sepele, tetapi menjadi persoalan serius serta preseden semakin beraninya Malaysia beserta jaringan Persemakmuran Inggris maupun jaringan neokolonialisme Amerika.
"Bagi saya dan setelah mempelajari sejumlah kasus, Malaysia memang semakin berani. Jadi menurut hemat saya, justru ada unsur kesengajaan (Malaysia mengganggu) memprovokasi wilayah perbatasan kita, terutama di wilayah yang dianggapnya ada aset kekayaan alam atau alur lalu lintas `gemuk` internasional," katanya.
Kelalaian
Tanpa harus menuding siapa yang salah, Rahadi Zakaria menilai, memang ada kelalaian pihak Indonesia, terutama sejak era Soekarno dan Soeharto.
"Kita semua pahami bahwa perbatasan adalah merupakan sumber konflik dari dulu. Karena itu, sejak pasca pendudukan Pemerintah Kolonial Belanda, wilayah perbatasan Indonesia masih di era Bung Karno, melalui Perdana Menteri Ir Juanda mulai memperjuangkan cikal bakal Wawasan Nusantara, yaitu suatu kesatuan NKRI," ungkapnya.
Sejak itulah, menurut dia, wilayah perbatasan dengan negara tetangga, baik darat, udara, terlebih laut, dilakukan penataan kembali.
"Lalu sebagai contoh berikutnya, pada era Pak Harto, yakni pasca berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia yang populer hingga kini dengan istilah "Ganyang Malaysia", pada tahun 1966 dilakukan perjanjian penetapan garis batas (perbatasan) di kawasan Selatan Malaka dan Laut Cina Selatan pada 27 Oktober 1969," ujarnya.
Dalam perjanjian tersebut, demikian Rahadi Zakaria, diinventarisasi semua bentuk perjanjian sejak zaman kolonial Belanda dan kolonial Inggris, khusus untuk perbatasan Indonesia-Malaysia.
Kesengajaan
Rahadi Zakaria menilai, sesudah ada semua proses itu, masalah yang saat ini timbul bermula dari adanya kelalaian di pihak Indonesia.
"Inilah yang terus memicu Malaysia dengan sengaja mengganggu kita. Mereka terus melakukan `test case` dan memang mereka semakin terpicu setelah keberhasilan ketika bisa memenangkan perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yang juga diawali dengan beberapa `test case` provokatif," katanya.
Hal ini yang terus dilakukan Malaysia ke Blok Ambalat, kawasan Selat Malaka serta wilayah darat di Pulau Kalimantan, dengan target menguasai aset kekayaan alam maupun jalur-jalur internasional.
Persoalannya sekarang, demikian Rahadi Zakaria, mengapa konflik perbatasan muncul kembali dengan berbagai dalih di antara kedua negara, terutama dari pihak Malaysia.
"Sebab, meski terkadang hanya berangkat dari persoalan yang dianggap sepele, tiba-tiba kemudian bisa diangkat ke internasional, bahkan mereka mau diputuskan di Mahkamah Internasional yang dikuasai lobi Negara-Negara Persemakmuran dan Amerika," ujarnya.
Harta Karun
Seperti kasus masuknya tujuh nelayan Malaysia yang menyusup melanggar perairan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), menurut Rahadi Zakaria, tentu sudah merupakan bagian dari skenario besar untuk terus melakukan "test case", terutama karena kawasan itu merupakan alur gemuk pelayaran internasional (Selat Malaka).
"Jadi sekali lagi saya tegaskan, ini bisa saja dianggap sepele tetapi justru ada unsur kesengajaan yang masuk dalam skenario neo-kolonialisme global. Bisa jadi ini juga `test case` awal dalam urusan penguasaan Selat Malaka dan sumber kekayaan alam atau harta karun kapal tenggelam di perairan itu," ungkapnya.
Menurut Rahadi Zakaria, Malaysia kembali menguji nyali Indonesia sampai sejauh mana kesiapan Indonesia menjaga kedaulatannya.
"Ini akan semakin sering mereka lakukan, meskipun hanya berangkat dari persoalan-persoalan sepele semacam itu. Apalagi yang terakhir benar-benar semakin berani, yakni dengan disertai penyanderaan petugas KKP. Jadi, ini bukan lagi hal sepele `kan," katanya.