Keadaan tidak pernah menciptakan problem, tetapi tindakan terhadap keadaan yang menciptakan.
(W. Mitchell)
Don’t ever ask berapa macam tingkah orang gila. Imanlah: jumlahnya lebih banyak dari nama mereka, satu per satu. Mereka nangis, tertawa,kecewa… tanpa alasan yang jelas. Halusinasi adalah satu-satunys yang real bagi mereka. Dunia kita? Omong kosong. Mereka anggap kita gila, bukan bagian dari mereka. Kenormalan berubah menggelikan n kesintingan melepas jubah keanehannya.
Someday, gw ketemu… mmm, lebih tepatnya melihat n melewati satu sosok manusia yang udah kehilangan kewarasannya. Dia, seorang laki-laki yang begitu asyik bernyanyi di tengah jalan. Gak berisik, tapi so loudly. N dia juga berjoget. Tariannya gak jelas tapi ngikutin irama lagu n lincah gituh! Dinamis, layaknya seornag penonton konser dangdut tujuh belasan. Kelihatan enjoy. Dia gak ambil pusing ama ejekan orang-orang sekitarnya, tatapan, celotehan, n terbahak-bahak seraya melumurinya dengan status menghinakan.
Namanya juga orang gila.
Just one question yang berkecamuk di otak gw, kenapa orang itu bisa ampe gila,yaa? :
Gak tau pasti. Yang jelas, masalah. Pasti ada masalah yang sangat besar sehingga meledakkan kepribadiannya, menceraiberaikan kestabilan jiwanya. Berantakan. Berserakan dimana-mana.
Lantai.
Tanah.
Udara.
Apologi tidak menyelesaikan pertanyaan. Malah, dia semakin garang memicingkan matanya. Dengerin pertanyaannya n bantu gw jawab.
“Bukankah segala masalah yang menimpa manusia datangnya dari Allah? Bukankah Dia sudah berjanji bahwa masalah yang kita terima tidak akan melebihi kapasitas kita sebagai manusia? So kenapa sampe ada orang stress? Sampe ada orang yang lebih memilih mati gantung diri ketimbang menghadapi masalah n melanjutkan nyawa mereka? Kenapa juga sampe ada orang yang terguncang jiwanya? Sebenarnya dalam hal ini, siapa yang salah?”
Bisa gak kalian nemuin jawaban untuk pertanyaan tadi?
Gw inget kalo emang ada ayat yang menyitir soal ujian, batas kemampuan, n manusia. Surat Al-Baqarah, ayat terakhir. Buka deh… tertoreh sangat jelas n gak perlu tafsir tebal untuk mengerti.
“Allah tidak memikulkan beban kepada jiwa (seseorang) kecuali sekuat kekuatan yang dipikul olehnya…”
So, gimana kita harus menyikapi ayat ini? Apa dengan yakin, buntu, atau mulai ragu?
Satu yang gak akan berubah: Al-Qur’an tidak mungkin salah. Dalam hal ini, gw yakin seratus persen (mungkin lebih kalo kalian mengijinkan). Buat gw, ga ada seujung zarrah pun dalam kitab suci kita yang meragukan, apalagi salah. Kitab Tuhan tidak mungkin mempunyai kesalahan, gak mungkin terdapat perselisihan. Ini bukan doktrin, tapi didukung fakta-fakta ilmiah yang bisa dipercaya n terbukti (ucapin keras-keras: KONKRET!) kebenarannya. Berdiri di pihak yang menuding Allah keliru berfirman, sama aja melakukan hal yang paling tolol sepanjang sejarah umat manusia. Masalahnya bukan soal kitab suci, Tuhan, atau Nabi yang keliru melafalkan ayat. Ini soal manusia kebanyakan, karakter kebanyakan.
Harus diakui: seringkali dalam hidup, kita salah menyikapi masalah, at least got the end dengan masalah baru n lebih besar dari masalah sebelumnya. Inget gak kasus malpraktek? Salah minum obat. Kelebihan dosis. Atau ditipu dokter gadungan. Semakin banyak aja sekarang. Kita orang yang pertama memegang pisau, tapi harus mati dengan tikaman pisau yang kita pegang sendiri.
Mari berhenti bicara kepintaran, let’s talk about kebodohan… :
Contoh dari kesimpulan di atas, bisa dilihat di episode-episode sebuah program reality show Amerika, Fear Factor. Acara yang memakan biaya produksi gila-gilaan ini selalu ngebuktiin ke penontonnya bahwa konklusi peserta atau manusia dengan ‘ketidakmampuannya’ menylesaikan tantangan yang disodorin ama host hanya berasal dari asumsinya saja. Just about what their thing about. Padahal kalo aja dilakuin, tantangan itu bakal selesai begitu aja. Mungkin gak mengalahkan rekor kompetitor yang lain, tapi menyelesaikannya aja udah cukup menyelamatkan muka dari kartu ucapan ‘Selamat Datang di Klub Para Pecundang’.
Logika-logika jadi terbalik. Kearifan mulai menunjukkan batang hidungnya.
Ya, it’s all depend on cara kita memandang sesuatu. Motivasi yang melandasi jiwa. Pikiran yang positif n motivasi yang kuat adalah pasangan yang gak terkalahkan, sebagaimana bijak memaknai pentingnya asumsi n besarnya semangat.
Akui saja, banyak dari kita yang melupakan itu. Asumsi, semangat, dan (sebagai muslim) tujuan utama dalam hidup. Tujuan akhir dari hidup. Kepada siapa mereka menyembah, berserah. Menghamba, dan meminta. Meminta, dan menghamba. Bergantung, setinggi-tingginya. Berharap, seluas-luasnya. So gak perlu bingung mendapati betapa masifnya jumlah orang gila di negeri kita. Indonesia, tumpah darah nusantara.
Ini sudah persamaannya.
Orang bisa gila karena mereka terlanjur memiliki asumsi yang salah terhadap masalah (tidak mampu, tidak akan mampu, n lebih baik melepas kewarasan untuk memberikan titik di akhir kalimat kenormalannya), motivasi yang lemah, dan ketidaktahuan mereka kemana harus mengemis pertolongan. Kepada siapa harus mengadu, bersabar, dan beribadah. Mereka terus menyalahkan keadaan n memaki kesialan. Itulah bakat mereka yang paling berkembang, paling menonjol (sayangnya ga ada kontes mengeluh atau merengek di TV). Mereka gak sadar tengah membunuh kekuatan yang sesungguhnya ada di dalam diri. Mereka gak sadar kalo masalah yang datang bener-bener dalam kapasitas kemampuan mereka. Mereka mampu, tapi berpikir sebaliknya. Saat itu terjadi, ketidakmampuan yang tadinya gak ada menjadi ada n berkuasa. Pshyco.
Orang gila karena mereka berpikir mereka bakal gila. Gila. Mereka kurang hati-hati dalam berpikir.
So, awasilah pikiran yang ada di dalam kepala. Lintasan. Endapan. Keputusan.
We are what we’re thing about. We are what we’re believe about.
: