Secara historis, Srimulat diletakkan pada genre berikut:
1. Genre Lawak Srimulat
Srimulat dan deretan lawak tradisional (ludruk, bebodoran) yang mengandalkan improvisasi dari benang merah cerita. Unsur kritik sosial lebih kentara.
2. Genre Lawak Literer (lawak kritis)
Adalah grup lawak yang mematangkan diri sebelum naik panggung dengan skenario. Unsur kritik politiknya lumayan kental. Masuk ke kategori ini adalah Warkop DKI, Bagito, Patrio, dll.
3. Genre Lawak Alternatif
Semisal Ateng-Iskak-Edy Sud, Djayakarta (Jojon) yang tidak mengacu pada dua genre di atas. Lawakan Ateng, misalnya, tidak slapstick tapi juga tidak terlalu kaku mengikuti skenario.
Contoh lawakan macam ini adalah Ateng. Ini plotnya Ateng yang menurutku juga lumayan lucu.
Pelawak 1: Mas masih tinggal di tempat dulu?
Pelawak 2: Oh nggak, yang dulu sudah saya kontrakkan
Pelawak 1: Sama siapa?
Pelawak 2: Sama Dubes
Pelawak 1: Wah, hebat juga ya. Kenapa?
Pelawak 2: Karena rumah itu mau dijadikan percontohan rumah orang miskin di Indonesia.
Apalagi yang bisa ditemukan dalam membicarakan Srimulat? Sungguh banyak, karena kelompok yang sudah muncul tahun 1950-an ini betul-betul punya gudang kisahan yang dapat diceritakan. Misalnya tentang "ideologi" yang dikembangkan Teguh bahwa "aneh itu lucu dan yang lucu itu aneh". Turunannya adalah berbagai hal aneh berikut ini:
* Eko Londo alias Eko Handai Tolan Hawai Fife O Jhon Tra la la la la la padahal nama sebenarnya Eko Kuntoro Kurniawan
* Tarzan adalah nama panggung Toto Muryadi, pelawak Lokaria Surabaya yang hijrah ke Srimulat
* Polo itu nama yang digunakan Bharata
* Nunung itu bukan nama asli. Nama sebenarnya adalah Tri Retno Prayudati
* Tessy alias Tessy Kadarwati Srimulyani Barokah Kabul yang digunakan Kabul Basuki sebagai nama panggung setelah diminta Teguh untuk ganti nama yang aneh.
* Skripsi untuk skenario benang merah mereka
* Gaya rambut Gogon yang mirip sikat sepatu.
* Yongky yang sebenarnya petinju tapi justru ditampilkan sebagai drakula atau kuntilanak. Tidak pernah kebagian dialog, tetapi kehadirannya memberi warna pada pementasan Srimulat.
Sembari guyonan, aku sempat menyatakan ke Nanto Sriyanto, salah satu teman pembaca buku, perihal barangkali kita inilah generasi terakhir yang akan mengenang gegap gempita Srimulat. Karena memang Srimulat sungguh menemui tantangan yang luar biasa hebat bila nantinya akan muncul kembali. Mau tidak mau Srimulat harus tanggap dengan perkembangan atau pergeseran pasar. Mereka harus mulai menggunakan naskah dan berpakaian jas. Tapi buatku, pada saat itu sebenarnya Srimulat sudah bukan lagi Srimulat yang kukenal, yang bermain-main, bermodal skenario tak kaku. Karena setiap kali melihat permainan mereka, sungguh seperti kata Johan Huizinga, seorang ahli pikir dan filsafat, elemen "bermain-main" dalam kebudayaan dan masyarakat itulah yang menciptakan kegembiraan.
"Marilah kita mulai proses menjadi manusia itu dengan tertawa. Kita butuh Srimulat, kita butuh Srimulat yang membuat tawa kita kembali menjadikan kita sebagai manusia. Kita butuh Srimulat! Agar Indonesia ini bisa tertawa.” Kalimat di sampul belakang buku ini tepat menutup catatan terhadap isi buku ini.
(dirangkum dari berbagai sumber buku dan internet)