Pengantar
Bisa jadi sebagian besar dari kita belum pernah bersinggungan langsung dengan soal euthanasia ini. Tetapi toh euthanasia tetap menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji dan perlu kita gumuli bersama, terutama mengingat dilema etis dan teologis yang ditimbulkannya.
Bayangkan orang yang bertahun-tahun menderita sakit akut dan tidak ada kemung kian untuk sembuh, hidupnya sepenuhnya tergantung pada alat-alat medis; sedang biaya perawatan begitu mahal. Apa yang sebaiknya dilakukan dan dapat dipertang gungjawabkan dalam situasi demikian?!
Buletin pembinaan edisi ini akan menyoroti hal mengenai euthanasia. Ini memang bukan kajian lengkap dan mendalam, tapi minimal ini dapat memberi wawasan baru kepada kita. Selamat membaca.
Kasus dr. Kevorkian dan dr. Cox
Kita mulai dengan dua kasus yang sempat menghebohkan. Pertama, terjadi di Amerika ketika seorang dokter bernama Jack Kevorkian mengaku bahwa sejak tahun 1990 ia telah membantu lebih dari 130 pasien dengan berbagai penyakit kronis untuk mengakhiri hidupnya (melakukan euthanasia). Kevorkian kemudian dijuluki sebagai dr. Death. Kontroversi terjadi. Ada yang mengutuk, tapi ada juga yang membelanya. Para pembela itu menyebut Kevorkian sebagai dokter yang menunjukkan belas kasihan mendalam dengan penderitaan para pasien. Terlepas dari kontroversi mana yang benar dan mana salah, yang pasti pada tanggal 14 April 1999 dr. Kevorkian dijatuhi hukuman 25 tahun penjara.
Kedua, terjadi di Inggris tahun 1992 ketika dr. Nigel Cox mengakhiri hidup Lilian Boyes seorang pasien sekaligus teman baiknya selama 14 tahun. Caranya dengan mem berikan suntikan potassium chlorice. Dr. Cox mau melakukan itu karena ia sungguh-sungguh merasa iba dengan penderitaan sahabatnya itu. “Ia mengalami kesakitan luar biasa. Lima hari sebelum kematiannya ia memohon-mohon kepada saya untuk mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri hidupnya,” demikian pembelaan dr. Cox. Kedua anak Lilian Boyes justru menyetujui tindakan dr. Cox. Mereka malahan memberikan pembelaan dan berpendapat bahwa dr. Cox telah merawat ibu mereka dengan sungguh-sungguh dan penuh kasih.
Tetapi apa pun bentuk pembelaan, yang pasti kemudian dr. Cox diadili dan dijatuhi hukuman 12 bulan, hanya saja ijin prakteknya tidak dicabut. Ia tetap bisa menjalankan profesinya sebagai dokter.
Kedua contoh kasus di atas memperlihatkan kepada kita, betapa problematisnya soal euthanasia ini. Pada satu pihak kita bisa saja berada pada barisan orang-orang yang pro. Alasan yang biasa dikemukakan adalah: tidak ada kesempatan hidup, biaya mahal bisa digunakan untuk yang hidup, penderitaan si pasien. Tetapi pada pihak lain kita juga bisa berada pada barisan orang yang kontra. Alasannya adalah apa pun yang namanya pembunuhan adalah pembunuhan dan itu dilarang oleh Tuhan sendiri.
Apa sebetulnya euthanasia?
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani: eu (= baik) dan thanatos (= kematian). Jadi euthanasia artinya “kematian yang baik” atau “mati dengan baik”.
Euthanasia itu sendiri ada tiga macam, yaitu:
a. Euthanasia pasif adalah apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan pengobatan demi memperpanjang kehidupan pasien, misalnya: dengan mencabut alat-alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup, keluarga tidak lagi merawat pasien di RS. Hal ini terjadi untuk pasien yang benar-benar sudah terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan lagi, dan segala upaya pengobatan sudah tidak berguna pula. Belakangan tidak lagi dianggap sebagai euthanasia. Umumnya kalangan dokter dan agamawan setuju. Karena toh pasien meninggal karena penyakit nya, bukan karena usaha-usaha yang dilakukan manusia.
b. Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan tindakan medik tertentu yang bertujuan meringankan penderitaan pasien, akan tetapi tindakan mediknya membawa risiko hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan. Misalnya: seorang pasien penderita kanker ganas tak tersembuhkan yang sangat menderita kesakitan diberi obat penghilang rasa sakit, namun obat tersebut mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan. Tindakan ini tidak bertentangan dengan eksistensi manusia sebenarnya, karena dilakukan agar pasien tidak berada dalam penderitaan yang terus-menerus dan tak tertahankan.
c. Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek (mengakhiri) hidup pasien.
Euthanasia aktif ada dua; pertama, dokter yang mengambil tindakan mematikan misalnya dengan suntik mati. Kedua, dokter hanya membantu pasien, misalnya dengan memberi resep obat yang mematikan dalam dosis besar. Euthanasia ini biasanya disebut “bunuh diri berbantuan” atau “bunuh diri yang dibantu dokter” (tentu ini tidak berlaku bagi pasien yang untuk bergerak pun gak bisa).
Dalam Alkitab sebetulnya ada juga kasus euthanasia. Tapi tentu tidak dalam bentuk yang sekarang. Dalam Ayub 2 dikisahkan ketika istri Ayub yang mungkin tidak tahan melihat penderitaan suaminya, lalu menyuruh Ayub supaya mengutuk Tuhan sehingga bisa mati sekalian.
Bersambung...