Hampir 10 bulan selepas menjadi Menteri Pertahanan, kegiatan Juwono Sudarsono tak berkurang. Ia cukup sibuk menyumbangkan pemikirannya di bidang pertahanan, baik di lingkungan Kementerian Pertahanan maupun lingkungan lainnya.
Apakah postur pertahanan kita melemah jika dibandingkan dengan era Orde Baru?
Kalau kita lihat lima tataran pertahanan dalam arti luas, pada tingkat pertahanan satelit (cyber), kita bukan pelaku. Pada tingkat strategis nuklir, kita bukan pelaku. Pada tingkat mandala nuklir, kita bukan pelaku. Pada tingkat konvensional, kita pemain pelaku, tetapi bukan dominan. Hal itu karena anggaran pertahanan kita cuma Rp 42 triliun, kurang lebih 4,5 miliar dollar AS. Jumlah itu hanya 0,68 persen dari PDB dan 4,5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sekarang Rp 1.000 triliun. Jadi, bayangkan, untuk negara seluas ini, rentang efektif kemampuan untuk menangkal, mencegah, menindak sangat rendah.
Kita setiap tahun kecolongan 20 miliar dollar AS dari berbagai kegiatan ilegal, seperti pencurian ikan, pembalakan liar, perompakan, dan penyelundupan. TNI dan Polri tidak sanggup mencegah semua ini karena aparat negara yang namanya polisi dan tentara tidak punya kemampuan efektif untuk mencegah penyusupan, penerobosan kapal ikan, nelayan asing, apalagi kapal canggih dari Amerika, China, Australia, dan Jepang.
Jadi, pada tingkat konvensional, kita pelaku, tetapi kita masih mengusahakan—yang kita sebut strategic space (ruang strategis)—di mana kita sebagai negara terbesar di Asia Tenggara mengajukan kemampuan yang disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kekuatan esensial minimum atau minimum essential force (MEF). MEF itu seharusnya minimum Rp 125 triliun.
Dengan postur seperti itu kira-kira posisi kita di wilayah Asia Tenggara ini seperti apa?
Kalau dari segi perimbangan kekuatan konvensional, sebenarnya kita memang sangat kurang. Dilihat dari jumlah pesawat tempur, jumlah kapal selam, kita kurang dibandingkan dengan Singapura. Singapura sudah punya enam kapal siluman berjenis fregat. Kapal selamnya juga banyak. Malaysia juga. Kita cuma punya dua (kapal selam) untuk delapan kawasan.
Namun, pertahanan kita tidak bisa lepas dari pertahanan negara tetangga. Singapura berkepentingan dengan kita melalui suatu konsep sovereign space. Jadi, seluruh wilayah Indonesia bagian barat yang berdekatan dengan Singapura wajib patroli bersama karena kepentingan kita sebagai negara nasional tidak bisa lepas dari kepentingan Singapura. Hal itu karena Selat Malaka adalah kepentingan bersama. Jadi, yang mereka miliki, kita manfaatkan juga. Radar mereka kita manfaatkan secara bersama. Begitu juga untuk Indonesia bagian timur dan tenggara, dengan Australia.
Bagaimana dengan konsep ”pertahanan udang berbisa” (poison shrimp defense)-nya Singapura?
Singapura hidup dari ekonomi kita, 40 persen ekonomi Singapura bergantung pada pasar Indonesia. Jadi, Singapura berkepentingan mempertahankan kesatuan Indonesia agar kemampuan TNI cukup untuk melakukan pelaksanaan keamanan, tetapi tidak terlalu besar sehingga mengancam Singapura.
Singapura itu negara kota yang sangat rentan terhadap kemampuan fisik. Karena dia kecil, dia harus lakukan pertahanan semesta (total defense) yang betul-betul solid. Selama 24 jam tujuh hari seminggu, bandara dan pelabuhannya harus betul-betul pertahanan mutlak. No room for compromise.
Kenapa? Kalau secara fisik Indonesia dan Malaysia terlalu kuat, penghancuran Singapura bisa dilakukan hanya dengan satu bom di Orchard Road. Seluruh Singapura akan runtuh. Seluruh perangkat kelas dunia Singapura, bandara, pelabuhan, infrastruktur keuangan, jasa, kesehatan, dan hiburan akan mati.
Untuk mencegah itu, dia (Singapura) membuat strategi udang berbisa. Kalau Indonesia atau Malaysia mencaplok Singapura, ketergantungan Indonesia dan Malaysia terhadap infrastruktur Singapura, termasuk keuangannya, akan membuat ekonomi Indonesia dan Malaysia hancur. Hal itu membuat mutual dependence (saling ketergantungan), membuat Indonesia dan Malaysia jadi bagian kelangsungan hidup Singapura.
Seberapa efektif itu?
Efektif. Kalau Belawan dihancurkan, Tanjung Priok hancur, nanti keseluruhan supply line (lini suplai) Indonesia habis. Semua tentara dan pejabat Indonesia tahu itu. Bukan hanya soal Telkom, yang sedikit saja dipindah satelitnya nanti komunikasi kita akan hilang. Jadi, mereka sudah pikirkan ketergantungan simbiotis antara Indonesia bagian barat dan Singapura karena itu merupakan titik temu dari 38 persen dari 90 persen perdagangan laut di dunia lewat Selat Singapura.
Dengan kondisi kawasan yang seperti ini, apa sebetulnya ancaman untuk Indonesia?
Sebetulnya ancaman yang paling besar adalah kemiskinan Indonesia karena ketimpangan pembangunan yang telah berjalan selama 40 tahun.
Berarti prioritas pemerintah sudah benar, ya, soal mengatasi kemiskinan….
Sudah berkali-kali dalam pertemuan di kabinet dan juga pertemuan dengan rapat terbatas saya jelaskan bahwa ancaman kita adalah kemiskinan dan perang nontradisional, termasuk terorisme. Hal itu bisa diatasi kalau kita membangun keadilan sosial.
Saya katakan the best defense adalah social justice (pertahanan terbaik adalah keadilan sosial). Makin banyak orang terangkat dari kemiskinan, makin banyak orang tidak tertarik pada radikalisme, apakah sekuler apakah agama.
Bagaimana cara mengatasi sulitnya mencari anggaran?
Strategi kita sejak tahun 2004 adalah mendahulukan kesejahteraan dan infrastruktur ekonomi, seperti listrik yang sudah 12 tahun tidak membangun lagi. Tidak ada nilai tambah. Padahal, makin banyak orang menggunakan jasa jalan raya, pelabuhan. Infrastruktur kita sudah rusak. Hampir sama dengan Jakarta. Perlu pembaruan dan cukup modal.
Strategi pertahanan kita dalam situasi terbatas itu, kita mementingkan dua hal, yaitu menjaga kedaulatan relatif—tidak mutlak, tidak perlu hadir di setiap pulau, tidak semua kapal harus ada—tetapi kita melakukan peningkatan kesetaraan (paritas) teknologi. Kalau Singapura beli F-16, kita harus ada perbaikan.
Jadi ada kesetaraan dalam tingkat teknologi meskipun jumlah kita kalah, apalagi dibandingkan dengan kebutuhan fisik kita.
Apakah ada kemungkinan Indonesia diserang secara militer?
Sekarang perkiraan itu sedikit sekali kemungkinannya, tetapi yang bahaya kalau tidak menjaga paritas teknologi. Kita sekarang punya enam Sukhoi, empat yang terbang. Ada delapan F-16, tetapi enam yang operasi. It’s okay. Yang penting jangan terlalu lemah sehingga daya tangkal kita secara relatif dilecehkan oleh negara tetangga.
Saya ambil contoh Ambalat. Mengapa Malaysia berbuat seperti itu? Karena dia tahu tingkat kemampuan patroli kita di Indonesia bagian timur itu. Malaysia mengklaim sesuatu yang tidak sah menurut hukum internasional. Dia lecehkan kita karena dia tahu kemampuan TNI AL kita lemah di situ dan sebagian besar (kekuatan) kita di darat, dia membuat—apa yang disebut military skirmishes (perang kecil-kecilan)—untuk mengetes kemampuan kita.
Saya katakan kepada Menhan Najib (Najib Abdul Razak, menhan waktu itu), Anda bahaya membiarkan pelecehan itu karena orang Indonesia kalau diprovokasi bisa bondo nekat (modal nekat). He-he-he....
Hal ini ada kaitannya dengan investasi Malaysia. Kalau Anda memprovokasi, kita bisa memboikot atau membatasi investor Malaysia untuk mencari pasar di Indonesia, apakah itu perbankan, apakah itu industri, apakah itu kelapa sawit.