ATBC yang dibentuk pada tahun 1963 mempunyai misi memberdayakan riset serta memfasilitasi pertukaran pemikiran di bidang biologi dan lingkungan tropika. Sebagai suatu perhimpunan, ATBC menerbitkan suatu publikasi ilmiah berskala internasional yang kini menjadi salah satu terbitan paling terkemuka di bidangnya yaitu Biotropica.
Fokus ATBC digalang dengan komprehensif, mulai dari sistematika hingga ekologi, dari jasad renik hingga flora fauna berukuran-besar, dari perairan tawar hingga kehutanan dan lautan. Dewasa ini ATBC bahkan mencakup dimensi manusia, dengan memperhatikan interaksi manusia seringkali berperan sangat menentukan terhadap disiplin biologi, dan interaksinya.
Pertemuan tahunan ATBC merupakan pertemuan yang penting, sehingga penyelenggaraannya pun dilaksanakan di berbagai penjuru dunia, sebagai contoh tahun 2001 di Bangalore, India (symposia), 2002 di Panama City, Panama (symposia), 2003 di Aberdeen, Inggris (abstracts), 2004 di Miami, Amerika Serikat (abstracts), 2005 di Uberlbndia, Brasil (symposia), 2006 di Kunming, China (abstracts).
Kemudian, pada tahun 2007 di Morelia, Mexico (abstracts), 2008 di Paramaribo, Suriname (abstracts), tahun 2009 di Marburg, Germany, sedangkan tahun 2010 di Indonesia dengan tema "Keanekaragaman Tropika: Menghadapi Krisis Pangan, Energi dan Perubahan Iklim"`.
Dalam pertemuan ini dibahas berbagai hal Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Lautan, Perubahan Iklim dan Kehutanan berbasis Karbon, Kesehatan dan Konservasi, Sistem Pengetahuan Tradisional, Ekosistem di Papua dan Papua Nugini, Biogeografi di Wallacea, Orang-utan, Ornitologi, Entomologi, dan banyak lainnya.
Kegiatan yang telah dimulai secara resmi pada 19 Juli 2010 itu, pada Rabu (21/7) dibuka oleh Wakil Presiden Boediono, dan akan berakhir pada Jumat (23/7). Wakil Presiden Boediono mengatakan, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus emisi karbon dioksida sebesar 26 pesen pada tahun 2020.
"Untuk mewujudkan komitmen itu berbagai upaya kita telah lakukan, di antaranya melakukan konservasi hutan dan lingkungannya," katanya. Ia juga mengatakan, kebijakan pemerintah lebih memprioritaskan ketahanan pangan dan energi dalam upaya menghadapi perubahan iklim tersebut.
Oleh karena itu, kata Boediono, kelestarian lingkungan alam harus dijaga, termasuk juga keseimbangan antara konservasi dan eksploitasi. "Kita telah melakukan perjanjian kerja sama dengan Norwegia dalam hal konservasi hutan dan habitatnya," kata Wapres.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Lukman Hakim mengatakan, pertemuan ini diharapkan dapat membuat Indonesia lebih berperan dalam masalah keragaman hayati di tingkat internasional.
Deklarasi yang akan dihasilkan dalam pertemuan itu akan menjadi masukan bagi berbagai konvensi internasional yang ujungnya akan menjadi acuan bagi setiap negara dalam membuat undang-undang ataupun peraturan di negara masing-masing.
Selama ini, negara-negara yang tidak mempunyai biodiversity, seperti negara di Eropa, malah lebih dominan dalam hal ini," katanya. Dia mengatakan berbagai temuan dari hasil riset yang telah dilakukan diharapkan dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan. "Kami ingin pengetahuan maupun penelitian dan kebijakan itu tidak berjauhan," katanya (Ant).