Kalau hal-hal elementer berkaitan birokrasi kejaksaan semacam ini tidak dipahami Achmad, maka saya bersyukur sedalam- dalamnya ke hadirat Allah swt karena cita-cita Achmad menjadi Jaksa Agung sejak muda hingga uzur sekarang ini, tak pernah kesampaian. Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana, manusia seperti Achmad ini memang tak pantas jadi Jaksa Agung. Kalau dia jadi Jaksa Agung, maka malapetakalah yang akan menimpa bangsa ini.
Saya heran mengapa Achmad berkata saya yang "menolak" diperiksa, malah menyerang Jaksa Agung, sehingga saya diolok-olok seperti orang dungu "lain gatal, lain digaruk". Kalau saya ditetapkan menjadi tersangka oleh Jaksa Agung, dan saya berdasarkan ilmu dan berbagai dokumen yang saya miliki,
mengetahui dengan haqqul yaqin bahwa Jaksa Agung yang menetapkan itu tidak sah, maka salahkah saya "menolak" untuk diperiksa? Baiklah kalau kita bertikai mengenai kewenangan menetapkan dan memanggil saya menjadi tersangka, namun bagaimana dengan kewenangan untuk mencekal saya?
Dalam semua peraturan perundang-undangan yang ada, kewenanangan mencekal bukanlah kewenangan penyidik. Kewenangan ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 35 huruf f UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan jo Pasal 11 ayat (1) huruf c UU No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, adalah kewenangan khusus yang dimiliki Jaksa Agung.
Atas dasar pasal-pasal inilah, Jaksa Agung melalui sebuah surat keputusan telah melakukan pencegahan agar saya tidak meninggalkan wilayah negara RI. Apakah kalau saya menolak pencekalan dari Jaksa Agung yang tidak sah, harus juga diolok-olok sebagai "lain gatal, lain digaruk?"
Hendarman memang benar, ketika dia berkata bahwa ada perbedaan pendapat mengenai keabsahan dirinya. "Yusril bilang tidak sah, tetapi Mensesneg Sudi Silalahi mengatakan sah," katanya. Daripada debat di jalanan tanpa wasit, lebih baik debat di pengadilan biar ada yang memutuskan, tambah Hendarman.
Ibarat kata berjawab dan gayung bersambut, tantangan Hendarman itu saya jawab dalam kata seloroh Preman Betawi "Ente Jual, Ane Beli. Ente Nantang, Ane Ladeni". Esoknya permohonan uji materil tentang UU Nomor 16 Tahun 2004, saya layangkan ke Mahkamah Konstitusi.
Biar MK memutuskan penafsiran mana yang sejalan konstitusi: sah atau tidaknya kedudukan Hendarman. Karena itu saya mohon kepada Presiden, sudilah kiranya menunjuk Hendarman dan/atau Sudi Silalahi menjadi kuasa hukumnya, agar saya bisa berdebat dengan mereka di pengadilan.
Saya tidak akan memakai kuasa hukum biar saya berdebat langsung dengan mereka. Dalam permohonan itu, wajar saja kalau saya meminta putusan provisi, agar MK memerintahkan kepada "Jaksa Agung" untuk menunda segala keputusan dan tindakannya terhadap saya, sampai MK memutuskan apakah kedudukan Hendarman sah atau tidak.
Bisa saja Hendarman tidak fair, ketika saya menyambut tantangannya berdebat di pengadilan, tiba-tiba dia menggunakan "kewenangannya" memerintahkan kepada penyidik agar saya ditahan kejaksaan.
Saya yang justru patut lebih menyesalkan pernyataan Achmad, yang menyayangkan saya "bukannya menjadi contoh keteladanan seorang yang taat hukum, melainkan melakukan tindakan apa yang saya istilahkan 'lain gatal lain digaruk'.
Achmad ingin menggurui rakyat untuk taat membabi buta terhadap aparatur negara yang bertindak tidak sah, padahal dia mengetahuinya. Saya justru memberikan contoh kepada rakyat bahwa janganlah begitu saja menuruti segala perintah aparatur pemerintah, kalau mereka tidak yakin keabsahan mereka dalam bertindak.
Rakyat berhak mempertanyakan keabsahan itu agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang melanggar hak konstitusional dan hak asasi manusia yang dilindungi oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal HAM PBB serta berbagai kovenannya.
Sebagai anak watan Negeri Melayu, saya kasi tahu bahwa para leluhur saya selalu diajar untuk taat setia kepada raja. Tetapi ada ketaatan model Hang Tuah dan ada ketaatan model Hang Jebat. Hang Tuah mencontohkan ketaatan membabi buta kepada "segala titah perintah" sang raja.
Disuruh bunuh orang dia kerjakan, disuruh bunuh diripun dia patuh. Apapun "titah perintah Duli Yang Maha Mulia akan patik junjung tinggi" tanpa bertanya, apalagi membantah. Tapi Hang Jebat tidak. Meskipun dia juga taat setia kepada raja, tetapi kalau dia tahu raja merebut takhta secara tidak sah, dan perintah raja adalah salah, Hang Jebat akan membangkang kepada raja.
"Lebih baik patik mati berdiri daripada membungkuk kepada Yang Mulia" demikian kata Hang Jebat. Dari dulu saya megikuti jejak Hang Jebat, yang akan menabuh genderang perang mengangkat senjata melawan raja lalim dan tidak sah. Bagaimana Anda, Achmad Ali, masihkah anda ayam jantan dari Makassar seperti dulu, ataukah sekarang Anda berubah menjadi bebek dari Ujung Pandang? (*)
http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=99034