Ini saya daptkan dari Sumber yg diatas
isi nya:
Meluruskan Pelajaran Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia Dibandingkan dengan buku-buku populer, buku-buku sejarah termasuk yang ku -rang laku di pasar -an. Bisa dikatakan, pengetahuan sejarah masyarakat Indonesia pada umumnya sangat rendah. Biasanya, pengetahuan se -jarah hanya didapat dari bangku sekolah. Kecenderungan sikap kri -tis berbagai cerita sejarah sangat lemah. Padahal, pelajaran sejarah di sekolah-sekolah menempati po -sisi paling penting dan strategis da -lam mengembangkan kesadaran se -jarah masyarakat.
Ironisnya, ¡°pengajaran sejarah¡± di negeri ini belum menemukan ben tuk dan arah yang jelas. Sejak era Kemerdekaan 1945 sampai se -karang, pola dan isi pengajaran sejarah terus berubah. Setiap ter -jadi perubahan politik, maka tuju -an, pola, dan isi kurikulum pelajar an sejarah pun berubah.
Ada dua tesis yang menggambarkan terjadinya perubahan se -perti itu. Pertama, berjudul Sejarah Pendidikan di Indonesia: Sebuah Telaah atas Perubahan Kurikulum Sejarah Indonesia Sekolah Mene -ngah Atas Tahun 1975-1994, ditulis Umiasih (Departemen Sejarah UI: 2000). Kedua, berjudul Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas 1964 . 1984: Sejarah Demi Kekuasaan, oleh dan Darmiasti (Departemen Sejarah UI: 2002). Disimpulkan, sampai saat ini tidak pernah ditemukan pelajaran sejarah yang pas. Buku-buku sejarah masih dipe nuhi mitos yang diciptakan penguasa dengan mengabaikan penemuan fakta-fakta baru.
Pendekatan Indonesia-centris
Pendekatan Indonesia-centris membuat mitos bahwa ¡°Indonesia¡± sudah memiliki jati dirinya sendiri sejak zaman Sriwijaya dan Maja -pahit. Padahal sampai hari ini, yang disebut karakter ¡°Indonesia¡± seba -gai suatu bangsa belum bisa didefinisikan dengan jelas. Di negara yang bernama ¡°Indonesia¡± ini terakumulasi berbagai karakter dan ke pribadian ¡°bangsa¡± yang lebih dikenal dengan istilah ¡°suku-bang -sa¡±. Suku-suku bangsa ini yang se -sungguhnya ada, sementara ¡°In -donesia¡± sebagai bangsa tidak per -nah sungguh-sungguh ada. Para ahli sampai hari ini tidak pernah bisa merumuskan secara pasti apa yang disebut ¡°Indonesia¡±. Sunda, Jawa, Batak, Minang, dan lainnya le bih mu dah dirumuskan secara kul tural dibandingkan merumuskan apa yang disebut ¡°Indonesia¡±.
Sebetulnya, sejak awal muncul kebangkitan nasional, yang dimaksud dengan ¡°nasionalisme¡± adalah ¡°keinginan bersatu membentuk sa -tu negara¡±, bukan untuk melebur iden titas menjadi satu dengan se -but an ¡°Indonesia¡±. Selain tidak realistis, juga tidak ditemukan akar historisnya. Oleh sebab itu, slogan yang muncul adalah Bhinneka Tung gal Ika (berbada-beda tapi satu , yaitu negara Indone -sia). Akan tetapi, kemudian ¡°nasionalisme¡± dipaksakan menjadi kesatuan identitas kultural, terutama sejak Orde Baru. Penguasa Orde Ba ru terlalu memaksakan perumusan identitas dan ideologi °Indonesia Lebih parah lagi ¡°Indonesia didefinisikan sebagai bukan ekstrim kanan yang berhaluan Islam dan bukan ekstrim kiri yang berhaluan komunis. Akibatnya, yang berkembang justru Kristeni sasi dan sekularisme yang diimpor dari Eropa Barat.
Penekanan identitas Indonesia yang bukan Islam dan bukan ko -munis, memunculkan interpretasi yang terlampau dipaksakan, bah -wa kesatuan Indonesia sudah terbentuk sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Padahal, dua kerajaan itu jelas tidak mewakili Indonesia yang begitu luas. Sriwijaya dan Majapahit sendiri tidak pernah menjadi satu kerajaan. Masing-masing berdiri sendiri, padahal pernah sezaman.
Cerita Majapahit dimasa Hayam Wuruk yang katanya pernah menyatukan Nusantara pun diragukan apakah sungguh-sungguh menya tukan wilayah-wilayah itu secara efektif. Buktinya, setelah Hayam Wu ruk mangkat, wilayah-wilayah yang sebelumnya menyerahkan upeti kepada Majapahit menolak untuk menyerahkannya lagi. Be berapa justru melakukan penyerangan seperti Wiraraja dari Madura. Ini memperlihatkan bahwa dalam kasus ini kekuatan militer Hayam Wuruk-lah yang ditakuti hingga beberapa wilayah di Nusantara hingga mereka memilih me -nye rahkan upeti sebagai tanda menyerah daripada kerajaannya harus hancur. Setelah Hayam Wu ruk tidak ada, mereka berani kem bali me nolak berada di bawah Majapahit. Majapahit pun tidak berani menyerang karena kekuatannya semakin melorot.
Apakah masuk akal bila konsepsi Indonesia yang menjadi cikal bakal bangsa¡± Indonesia sudah terbentuk sejak saat itu? Jelas ini terlalu di -paksakan dan cenderung meng adaada. Bahkan, jika meru juk pada Denys Lombard (Nusa Ja wa Silang Budaya Jilid II, Gra media: 2006), maka yang berkembang di kalangan akademisi adalah bahwa Indonesia terbentuk karena kolonialisme Belanda, jauh ber abad-abad setelah era Sriwijaya-Majapahit. Buktinya lebih konkret dan lebih mudah dimengerti. Bu kankah wi layah yang sekarang men jadi Indonesia adalah wilayah yang dulu dikuasai oleh Hindia Be -landa.
Lombard sendiri menolak argu -men ini. Ia justru membalik pertanyaan kenapa Belanda sampai bisa relatif mudah menguasai wilayah yang sekarang menjadi Indonesia ini? Berdasarkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkannya, justru Lombard menemukan jawaban bahwa Belanda menjadi mudah menguasai wilayah ini dan menyatukannya di bawah payung Hindia-Belanda karena sebelumnya wilayah-wilayah ini telah disatukan oleh jaringan para pedagang Muslim yang akhirnya membentuk kekuasaan Islam di berbagai wilayah. Antara satu penguasa dengan pe nguasa lain telah saling berhubungan secara intensif. Sebagai buk ti nyata adalah terciptanya bahasa Melayu¡± baru sebagai lingua franca di antara mereka. Bahasa Melayu baru ini adalah bahasa Melayu yang telah diislamisasi secara intensif peristilahan-peristilahannya yang menunjukkan pe -ngaruh Isam yang sangat kuat.
Argumen ini dikuatkan oleh te -muan Goerge McTurnan Kahin (Nasionalisme dan Revolusi, UNS Press: 1995) bahwa faktor paling pen ting yang memudahkan terciptanya nasionalisme Indonesia (dalam pengertian ingin untuk bersatu membentuk pemerintahan sendiri lepas dari Belanda) adalah faktor kesamaan bahasa dan agama (Islam), di samping perasaan senasib sa ma-sama dijajah Belanda.
Kenyataan-kenyataan seperti di atas justru diabaikan dalam bukubuku pelajaran sejarah Indonesia yang sayangnya menjadi rujukan utama terbentuknya pengetahuan sejarah masyarakat Indonesia. Al -hasil, Islam dalam sejarah Indonesia selalu diposisikan hampir sama dengan PKI (Partai Komunis Indo -nesia), yaitu sebagai musuh negara. Beruntung penganut Islam adalah mayoritas sehingga nasibnya tidak setragis PKI. Namun, kesan permusuhan terhadap Islam tetap terbentuk sampai saat ini, terlebih lagi setelah mencuatnya isu terorisme. Permusuhan global Amerika terhadap Islam dijadikan alat untuk se makin memperkuat permusuhan ¡°negara¡± di Indonesia terhadap aga ma mayoritas rakyatnya sen diri.
Sejarah 'Anti-Islam'
Selain problem konsepsi Indo ne -sia yang cukup fundamental, bukubu ku pelajaran sejarah ju ga me n yi sa kan persoalan krusial dalam pemilihan dan penggambaran to kohtokoh yang dimunculkan dalam sejarah. Ini sebetulnya hanyalah pro -blem turunan dari kesalahan konsepsi mengenai Indonesia.
Sebagai konsekuensi konsepsi Indonesia yang sekular (baca: anti-Islam), tokoh-tokoh sejarah pun digambarkan dan diinterpretasikan sebagai tokoh-tokoh sekuler.Seorang Diponegoro yang santri dan sangat taat menjalankan Islam digambarkan sebagai seorang Jawasekuler. Ia pergi menyepi untuk bersamedi memperdalam ilmu kebatinan. Interpretasi semacam ini sengaja dimunculkan dan dibesarbesarkan untuk memperkuat kesan bahwa tokoh-tokoh dalam sejarah Indonesia adalah tokoh yang tidak terlalu pro-Islam.
Interpretasi ini jelas sulit diterima bila memperhatikan bagaimana kedekatan Diponegoro dengan pa ra ulama dan kiai seperti Kiai Mojo dan lainnya. Belum lagi, memper timbangkan digelorakannya Perang Sabil (jihad fi sabilillah) dalam Perang Diponegoro (Perang Jawa, 1825-1830) yang merupakan perang terbesar yang dihadapi Be -landa sepanjang sejarah ada di Nusantara.
Sebagai konsekwensi turunan berikutnya, buku-buku pelajaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah begitu enggan memberikan porsi sewajarnya ke pada gerakan-gerakan Islam sejak zaman Kebangkitan Nasional (awal abad ke-20) sampai zaman reformasi. Seolah-olah organisasi-organisasi pergerakan Islam seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, Persis, Masyumi, dan sebagainya tidak me miliki peran siginifikan dalam membentuk ¡°Indone sia¡±.
Kalau harus dirunut semua, tentu masih banyak lagi konsekuensi turunan lain dari penulisan sejarah sekular yang ujung-ujungnya adalah memberangus peran Islam dalam sejarah Indonesia. Unsur-unsur dan nuansa sekuler sejarah Indonesia dibuat menjadi sangat dominan. Inilah sesungguhnya masalah fundamental dalam penulisan sejarah Indonesia. Jika perpektif Indonesia-centris yang sekular ini tidak diperbaiki, sulit mengharapkan terjadinya perbaikan pengajaran sejarah di negeri ini. Perbaikan harus dimulai dengan mengembalikan definisi ¡°Indonesia¡± kepada kenya -taan sejarah terbentuknya Indone -sia sendiri.