Ketidakpekaan PSSI
Pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia sungguh tidak peka. Tak lama sesudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik pembinaan sepak bola di Indonesia, mereka justru bertindak memalukan. Pengurus organisasi ini beramai-ramai menonton langsung Piala Dunia di Afrika Selatan dengan biaya sekitar Rp 7,6 miliar. Padahal sebelumnya mereka mengeluhkan kekurangan dana untuk menyewa pelatih asing.
Buat apa PSSI mengirim 60 pengurusnya ke Afrika jika tim nasional kita masih sulit diharapkan tampil dalam ajang ini? Jangankan berkiprah di Piala Dunia, mengembalikan kejayaan sepak bola Indonesia di kawasan Asia Tenggara pun tidak mudah. Artinya, pengurus PSSI belum perlu melakukan semacam studi banding untuk mengelola tim dalam turnamen dunia. Mereka pun belum perlu belajar menyelenggarakan perhelatan akbar ini karena pemerintah telah menolak gagasan muluk untuk mencalonkan diri jadi tuan rumah Piala Dunia.
Kalaupun tujuannya sekadar mengamati perkembangan sepak bola internasional, kegiatan yang melibatkan pengurus PSSI daerah itu juga terlalu mewah. Lewat media massa dan jaringan Internet, toh mereka bisa mengintip perkembangan sepak bola di seluruh penjuru dunia. Bisa dipastikan, di Afrika Selatan, puluhan pengurus sepak bola itu justru tidak mendapat apa-apa selain menonton pertandingan yang sebenarnya dapat dinikmati lewat televisi di rumah mereka masing-masing.
PSSI terkesan tidak mampu menentukan skala prioritas kegiatan karena jalan-jalan ke Afrika Selatan itu justru dilakukan ketika keuangan organisasi ini sedang jeblok. Sebelumnya, mereka sempat mengeluhkan besarnya biaya mengontrak pelatih asal Austria, Alfred Riedl. Bahkan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid mengajukan permintaan dana Rp 30 miliar kepada pemerintah untuk persiapan menghadapi SEA Games, termasuk membayar pelatih tim nasional.
Sekretaris Jenderal PSSI Nugraha Besoes mengatakan bahwa kepergian ke Afrika tidak perlu dipermasalahkan karena hal ini sudah dirancang dua bulan sebelumnya. Tapi argumen seperti ini amat lemah. Mau direncanakan setahun sebelumnya, jika memang tak bermanfaat, kegiatan ini wajib dibatalkan. Alangkah eloknya jika uang sebesar itu dipakai untuk kepentingan yang lebih mendesak, seperti menyewa pelatih atau membiayai program pembinaan sepak bola.
Argumen lainnya juga aneh. Menurut Besoes, biaya para pengurus untuk menonton langsung Piala Dunia tidak diambil dari uang sponsor, duit pembinaan, atau bantuan FIFA. "Ini merupakan uang hasil usaha sendiri," katanya. Dalih ini justru membingungkan. Organisasi ini seharusnya menjelaskan secara transparan dari mana uang itu diperoleh. Jika duit didapat karena posisi mereka sebagai pengurus PSSI, seharusnya tetap masuk ke kas organisasi dan tak boleh digunakan seenaknya.
Pengurus PSSI mestinya peka terhadap kecaman masyarakat. Mereka kerap dikritik bukan hanya karena kegagalannya memajukan sepak bola Indonesia, melainkan juga ketidakmampuannya membangun organisasi yang efisien, efektif, dan transparan.