TAFSIR HIBAH HADI POERNOMO
DUA tarup tegak berhias rumbai-rumbai membikin elok panggung acara. Hari itu, Sabtu, 23 Juli 2005, seratusan orang telah datang untuk acara ini, "peresmian" tiga rumah burung walet di Desa Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Mereka melafalkan selawat dan Yasin, surat dalam Al-Quran.
Duduk di kursi depan Melita Setyawati, istri Hadi Poernomo, Direktur Jenderal Pajak ketika itu, dan anaknya, Ratna Permata Sari. Di samping mereka ada Santi Gina Haryanti, istri Kepala Kantor Wilayah Pajak Bengkulu dan Lampung. Tiba giliran berbicara, Me lita meminta doa agar usaha budi daya walet yang dirintisnya berhasil. "Saya nitip sama masyarakat sini untuk menjaga bersama-sama," katanya, seperti ditirukan Bisri, tokoh masyarakat setempat, kepada Tempo dua pekan lalu.
Seusai acara, makanan dihidangkan. Kue ulang tahun Ratna, yang lahir pada tanggal itu, dibagikan. Pulang dari acara, undangan sebagian besar penduduk setempat dan tukang pembuat bangunan rumah walet memperoleh bingkisan besar berisi susu, gula, dan biskuit. "Kami juga diberi uang dalam amplop," kata Widar yanto, penjaga kompleks itu.
Tiga rumah walet baru selesai diba ngun. Dua rumah berukuran masing-masing hampir 100 meter persegi, dengan tinggi 14 meter. Satu rumah lain lebih luas, dengan tinggi kurang-le bih sama. Perlu biaya sekitar Rp 1 miliar buat mendirikan tiga bangunan itu. "Saya yang memborong pembangunannya," kata Zaelani, makelar tanah yang cukup kondang di wilayah Pringsewu.
Atas nama Melita, keluarga Hadi Poernomo memiliki enam bidang tanah di daerah itu. Total luasnya satu hektare lebih, terletak di pinggir Jalan Lintas Barat Sumatera Bandar Lampung-Kotaagung. Semuanya kini berni lai sekitar Rp 1 miliar dengan harga pasar tanah Rp 100 ribu per meter persegi.
Pada 2004, ketika gedung mulai dibangun, pasar sarang walet cukup menggiurkan. Harganya sekitar Rp 15 juta per kilogram. Tapi, hampir lima tahun setelah bangunan berdiri, burung walet ternyata enggan menitikkan liur dan membuat sarang di rumah milik keluarga Hadi itu. Pengurus rumah pun hampir setiap hari memutar suara burung melalui cakram padat, memancing sang walet agar bersedia singgah. "Padahal gedung-gedung di sekitar sini telah dihuni walet," kata Widaryanto.
Toh, walau tanpa burung walet yang menghuni tiga gedung itu, aset Hadi Poernomo tetap jauh dari nilai yang dilaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Februari lalu, sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan sebuah lembaga negara Hadi melaporkan kekayaannya dengan total hampir Rp 38 miliar. Sebagian besar atas nama istrinya, Melita Setyawati, dan menurut Hadi berasal dari hibah.
Dalam daftar kekayaannya, tercantum 28 properti di pelbagai daerah, yang dilaporkan bernilai sekitar Rp 36 miliar. Dalam laporan yang sama, terdapat enam bidang tanah di Kabupaten Tanggamus (sebagian wilayahnya kini menjadi Kabupaten Pringsewu) dengan nilai kurang dari Rp 200 juta seperlima nilai harga pasar sekarang. Ini belum termasuk nilai "rumah walet" yang tidak dimasukkan ke laporan.
Pencantum an nilai yang lebih kecil daripada nilai sebenarnya merupakan satu dari beberapa kejanggalan dalam laporan kekayaan Hadi. Tempo menemukan pula sejumlah properti atas nama Melita yang sama sekali tidak dilaporkan. Ada juga aset atas nama anak-anak pasangan itu yang lagi-lagi tidak dimasukkan ke laporan.
Satu keanehan, hampir semua keka yaan Hadi disebutkan bersumber dari hibah. Padahal akta jual-beli serta kesaksian yang berkaitan dengan proses transaksi pada sejumlah aset keluarga itu hanya ada satu akta hibah, yang dibuat untuk penyerahan empat aset sekaligus dari Raden Abdul Hadi Noto Sentoso, ayah Hadi Poernomo.
http://majalah.tempointeraktif.com//id/arsip/2010/06/21/LU/mbm.20100621.LU133891.id.html