Apa yang Kau Cari DPR?

Oleh Syamsuddin Haris *
KOMPAS.com - Survei Kompas sebanyak tiga seri pekan lalu tentang Dewan Perwakilan Rakyat atas dasar penilaian para anggotanya antara lain menggarisbawahi ”kegamangan” yang tengah melanda institusi perwakilan rakyat ini.
Sebagian besar mereka misalnya kecewa berat atas kinerja ekonomi pemerintah, tetapi secara faktual tidak pernah ”ngotot” memperjuangkan struktur ekonomi yang lebih adil. Mengapa?
Secara umum sulit dimungkiri bahwa DPR hasil pemilu-pemilu pasca-Soeharto jauh lebih baik ketimbang peran sebagai stempel kekuasaan selama tiga dekade sistem otoriter Orde Baru. Dengan kekuasaan berlebih yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil amandemen, peran DPR meningkat pesat selama lebih dari 10 tahun terakhir.
Beberapa waktu yang lalu DPR bahkan ”berhasil” mempermalukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui rapat paripurna yang memvonis adanya kesalahan kebijakan dalam skandal penalangan dana Rp 6,7 triliun atas Bank Century.
Namun, ”prestasi” DPR tersebut sebenarnya tidak memperoleh ”keplok” publik. Di mata masyarakat, perilaku dan kinerja para politisi partai politik di DPR tetap mengecewakan. Mungkin saja ekspektasi publik yang tinggi tidak diimbangi kapasitas para wakil rakyat. Akan tetapi, di luar soal kesenjangan antara harapan rakyat dan kapasitas DPR, ada beberapa faktor lain yang melatarbelakangi kegamangan para politisi di Senayan.
Tanpa politik legislasi
Faktor pertama terkait cara pandang para politisi yang belum berubah tentang hakikat kehadiran mereka sebagai wakil rakyat. Masih kuat kesan bahwa menjadi legislator seolah-olah harus selalu bersuara ”keras” dan kalau perlu ”berlawanan” dengan pemerintah. Tidak mengherankan jika fungsi kontrol dalam bentuk hak interpelasi dan hak angket, misalnya, begitu antusias direspons para anggota DPR. Padahal, locus otoritas DPR dalam skema konstitusi hasil amandemen lebih terletak pada fungsi legislasi ketimbang fungsi pengawasan.
Sebagai institusi pembentuk undang-undang (UU), meski melalui persetujuan bersama dengan Presiden, DPR pasca-Orde Baru sebenarnya memiliki peluang emas untuk merancang berbagai kebijakan alternatif untuk membenahi aneka persoalan bangsa kita.
Namun, hal itu belum dimanfaatkan optimal karena DPR tidak memiliki politik legislasi, yakni semacam desain besar parlemen mengenai arah penataan bangsa ini ke depan. Memang benar telah ada program legislasi nasional (Prolegnas) tahunan dan lima tahunan. Namun, daftar RUU di dalamnya lebih merupakan kompilasi ”daftar keinginan” pemerintah dan DPR ketimbang suatu politik legislasi yang terarah dan bertolak dari tantangan serta kebutuhan obyektif negeri ini lima hingga 10 tahun ke depan.
Dalam kaitan ini usulan Partai Golkar tentang ”dana aspirasi” yang berganti nama menjadi ”dana program percepatan pembangunan daerah” bukan hanya cermin kegamangan DPR atas kedudukan konstitusionalnya, melainkan juga merupakan dampak dari tidak adanya politik legislasi pada institusi sepenting Dewan. Akibatnya, atas nama kepentingan rakyat, koridor konstitusi dan perundang-undangan pun dilanggar karena jelas skema usulan Golkar lebih merupakan ranah eksekutif ketimbang legislatif.
Parpol minus visi
Faktor kedua di balik kegamangan DPR adalah minimnya visi dan platform kebijakan yang dimiliki parpol tentang arah ekonomi, politik, dan hukum negeri kita ke depan. Kalaupun parpol memiliki visi dan platform kebijakan, pada umumnya berhenti sebagai dokumen tertulis yang tidak pernah diperjuangkan secara parlementer. Juga sudah menjadi rahasia umum, visi dan platform parpol adalah produk para pemikir yang biasanya tidak memiliki otoritas dalam internal parpol sehingga tak pernah ada koneksi antara pilihan politik parpol di DPR dan visi serta platform tertulis yang dimiliki.
Sebagai institusi pembentuk UU, parpol-parpol di DPR semestinya memiliki rancang bangun tentang arah ekonomi negeri di era persaingan global yang cenderung saling menghancurkan dewasa ini. Sekurang-kurangnya, ada pemikiran dan kebijakan alternatif DPR—di luar desain pemerintah—tentang strategi melindungi produk domestik, sumber daya alam, serta para petani dan nelayan kita sendiri sehingga tidak dibiarkan menjadi mangsa perdagangan bebas.
Isu-isu kedaulatan ekonomi bangsa kita dari pemangsaan kapitalisme global jelas jauh lebih seksi dan bermartabat bagi parpol di DPR ketimbang menyusun siasat busuk merampoki dana APBN atas nama ”aspirasi” dan ”pembangunan daerah”. Soalnya, tak seorang pun bisa menjamin bahwa dana yang diusulkan itu benar-benar sampai dan dinikmati rakyat yang nasibnya hanya diatasnamakan oleh para wakilnya.
continue...