Bagian 1
Para ahli dan teknisi British Petroleum (BP) berjuang keras menutup kebocoran sumur bawah laut di Teluk Meksiko. Mereka berjibaku sejak 20 April lalu, saat pertama kali pipa minyak bocor. Mereka optimistis kebocoran bisa dihentikan agar pesisir pantai Amerika Serikat tidak tercemar berat oleh tumpahan minyak. Tak ingin reputasinya hancur, BP menempuh segala hal, termasuk menyediakan dana miliaran dolar, guna menjinakkan semburan. BP terancam diseret ke meja hijau jika terbukti melanggar (Koran Tempo, 3 Juni).
Kasus ini menjadi sorotan dunia. Dengan semburan 3.000-5.000 barrel minyak per hari, ini merupakan pencemaran terburuk dalam sejarah Amerika, melampaui bencana tumpahan minyak dari tanker Exxon Valdez (1989) ,yang menebarkan minyak di laut lebih 245 ribu barel. Pemerintah Amerika memperkirakan, 18-40 juta galon minyak mentah telah mencemari Teluk Meksiko. Ekonomi dan lingkungan terancam.
Pemerintah Barack Obama mendapatkan tekanan oposisi, pencinta lingkungan, dan warga Amerika. Reputasi Obama di dalam negeri merosot drastis. Akibat kasus ini, Obama menunda kembali kunjungan ke Australia dan Indonesia. Tapi Obama tetap bisa bersikap tegas: BP harus menghentikan kebocoran. BP harus bertanggung jawab atas kebocoran dan kerusakan lingkungan. Agar tak terjadi bencana serupa, Obama akan merevisi hukum dan peraturan yang mengawasi industri minyak. Amerika bahkan menyiapkan diri menghadapi skenario terburuk apabila kebocoran belum bisa dihentikan hingga Agustus nanti.
Sejauh ini belum ada tanda-tanda kebocoran berhenti. Namun pelbagai upaya keras--pemerintah Obama dan BP--membuat optimisme warga Amerika terjaga bahwa kebocoran bisa dihentikan. Meski sedih dan kesal, Obama juga menularkan optimisme kepada warga. "Kami tidak akan menyerah sampai kebocoran bisa dihentikan, hingga air dan pantai-pantai dibersihkan, hingga orang-orang yang menjadi korban bencana buatan manusia ini mendapatkan hidupnya kembali," kata Obama. Menjaga optimisme itu amat penting. Bahkan, kata orang bijak, optimisme itu setengah dari sebuah keberhasilan.
Kondisi kontras terjadi di Indonesia. Sejak menyembur pertama kali pada 29 Mei 2006, sampai sekarang semburan lumpur panas terus terjadi di Sumur Banjarpanji, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, milik Lapindo Brantas. Sekitar 600 hektare kawasan terkena dampak semburan lumpur panas. Ribuan keluarga dipindahkan dari lokasi bencana, termasuk pabrik. Infrastruktur publik, seperti jalan dan rel kereta api, rusak. Tak terhitung kerugian sosial-ekonomi yang diderita rakyat Jawa Timur akibat petaka lumpur panas itu.
Sementara BP dan pemerintah Obama berjuang keras menghentikan kebocoran minyak di Teluk Meksiko, sebaliknya semburan lumpur panas di Sidoarjo dibiarkan. Pemerintah dan PT Lapindo Brantas menyerah dan menganggap sebagai fenomena alam, seperti putusan Mahkamah Agung bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam. Bahkan muncul ide dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadikan pusat semburan lumpur sebagai kawasan wisata. Bencana dan derita dianggap sebagai sesuatu yang layak jadi tontonan.
Seperti Obama dan BP, seharusnya SBY dan Lapindo berpikir keras menemukan cara menghentikan semburan lumpur panas. Menurut perkiraan para ahli, semburan bisa terjadi 30 tahun, bahkan 100 tahun, lamanya. Kalau semburan berlangsung selama itu, dampak sosial-ekonominya akan luar biasa besar. Patahan-patahan akan terjadi karena struktur di dalam tanah jadi kosong. Semburan gas beracun dan karsinogenik yang mencapai 180 buah akan semakin banyak. Ini jadi mesin pembunuh pelan-pelan. Hampir semua negara yang memiliki lapangan migas pernah mengalami hal serupa, baik di Indonesia, Amerika, Eropa, maupun Asia. Tapi semua semburan bisa dijinakkan (Rubiandini, 2010).
(Bersambung)