"Dhitya, katanya jari-jari kamu pandai melemaskan otot yang kaku, coba sekarang buktikan sama Mbak kalau kamu memang benar-benar ahli." kata Mbak Evie pada suatu malam disaat 'break' sehabis shooting kami berkumpul di villa Cibodas di ruang tengah yang mana hadir juga beberapa kru dan Mbak Ranti yang merupakan isteri Mas Echa, orangnya lembut dan amat baik hati, seperti biasanya sebagian kru termasuk aku duduk di lantai yang dilapisi karpet tebal.
"Iya Dhit, aku juga mau diurut badanku terutama bagian belakang dan pinggangku rasanya pegal sekali, aku sudah hampir 2 malam berturut-turut tidurku nggak nyenyak," sambung Mas Echa yang langsung rebah telungkup di bawah dekat aku duduk bersimpuh.
"Mas, kasihan Dhitya dong, jangan lama-lama yaa. Dia kan perlu istirahat juga." Mbak Ranti langsung memotong kata-kata suaminya, aku tersenyum dan maklum bahwa Mbak Ranti sangat sayang kepadaku dan dia menganggapku sebagai adiknya sendiri karena aku sudah agak lama mengikuti kru film Mas Echa dan selalu membantu apa yang diperintah mereka berdua diluar kerja film, bahkan beberapa kali Mbak Ranti memberiku uang untuk tambahan biaya kuliah dan ujian, pernah juga dia menemuiku tertidur di atas meja di kamar editing film Mas Echa, di rumahnya karena saking lelahnya bekerja, dia mengambil selimut dan menutupi tubuhku agar tidak kedinginan karena editing room harus selalu dalam keadaan sejuk dengan suhu maksimal 15 derajat Celsius.
Kembali pada keadaan di villa Cibodas malam itu, Mas Echa seperti tidak peduli dengan ucapan isterinya tadi seperti yang kuceritakan di atas, dia dengan wajah yang gagah, kelaki-lakian atau HE-MAN menurut istilah perfilman serta tubuhnya tinggi besar sudah tegeletak telungkup di hadapanku dengan dada telanjang. Aku pun langsung action mengurut Mas Echa sambil melirik dan berkata kepada Mbak Evie, "Sebentar yaa Mbak, aku selesaikan Mas Echa setelah itu aku akan mengurut Mbak."
"Benar lho, kamu mau mengurutku, awas kalau kamu bohong," jawabnya dengan senyum yang manis dan rasanya ada sesuatu luar biasa.
Seperti biasanya Mas Echa kalau sudah kena tanganku mengurutnya dalam tempo 15 menit langsung terdengar dengkurnya yang khas, kulihat Mbak Ranti yang masih asyik mengobrol dengan Mbak Evie menggeleng-gelengkan kepalanya dan bangkit dari kursi lalu meninggalkan kami menuju kamar tidur sambil berkata, "Vie, aku tidur duluan ya, Mas-mu itu kalau sudah diurut lupa sama semuanya, dan ini selimutnya ya Dhit, untuk kamu sama Mas Echa."
Memang salah satu kebiasaanku dan Mas Echa kalau shooting di luar kota terutama di daerah pegunungan kami selalu tidur di ruang tengah villa, jadi selimut selalu disiapkan oleh Mbak Ranti.
Sementara teman-teman yang lain satu persatu meninggalkan ruang tengah untuk langsung istirahat tidur karena biasanya pagi-pagi sebelum matahari terbit kegiatan shooting sudah mulai kembali.Tinggal kami bertiga, Mas Echa yang sudah tertidur dengan dengkurnya yang khas, Mbak Evie yang dengan penuh perhatian memandang ke arah tanganku yang bergerak dengan pasti dan lentur mengurut punggung serta pinggang Mas Echa dan aku sendiri 'si tukang urut'.
Kutengok ke arah Mbak Evie yang sedang melamun. Aduh mak! manisnya ini wanita dengan dadanya yang montok, padahal anaknya sudah 2 dan tubuhnya masih padat dan montok itu.
Sudah 20 menit aku mengurut Mas Echa dan kelihatannya dia sudah terbang ke alam mimpi.
"Bagaimana Mbak Evie, jadi nggak dikerjain badannya?" sapaku enteng acuh tak acuh sambil tersenyum.
"Jadi dong, memangnya aku mau nungguin kamu dengan percuma tanpa hasil?" jawabnya tertawa halus dan renyah terdengar olehku.
"Tapi aku nggak mau di sini, ayo kita ke kamarku," katanya lagi setengah berbisik, aku terkejut dan jadi bertanya-tanya dalam hati, dia ini serius ya?.
"Mbak, nggak enak dong sama Mas Echa dan Mbak Ranti nantinya kalau mereka tahu kita berdua di dalam kamar aku mengurut Mbak," jawabku pelan dan agak ragu.
"Alaahh, nggak pa-pa kok, mereka kan sudah pada tidur, ayo cepetan aku juga sudah mulai ngantuk nih." tukasnya dengan kerlingan mata yang penuh arti.
Nah lho, aku berpikir sejenak, ini adalah kesempatanku berdua dengan Mbak Evie yang dari sejak pertemuan pertama aku sudah membayangkan bagaimana bentuk tubuhnya yang indah kalau tanpa sehelai benang melekat di tubuhnya, tapi aku masih ragu-ragu soalnya dia kan adiknya Mas Echa dan sementara itu banyak orang di sekitar kami meskipun semua sudah pada tidur di kamarnya masing-masing. Kuselimuti Mas Echa yang sudah mendengkur seperti suara gergaji pemotong balok kayu itu. Kulihat Mbak Evie sudah naik dan masuk ke kamarnya yang terletak di bagian atas villa yang disewa itu dan perlahan-lahan aku mengikuti dari belakang.
"Sebentar ya Dhit aku ganti baju," katanya, dia masuk ke kamar mandi, beberapa saat kemudian dia keluar mengenakan celana olahraga yang amat pendek sehingga pahanya yang putih mulus terlihat dengan indah dan dia mengenakan kaos T-Shirt yang membuatku tertegun sejenak menelan ludah karena buah dadanya yang ternyata besar dan masih mencuat padat, terlihat membekas putingnya pada T-Shirt tersebut karena dia tidak memakai BH. Aku pura-pura tidak memperhatikannya.
"Terus posisi tidurku harus bagaimana Dhit?" tanyanya terlihat seolah-olah masa bodoh dengan penampilannya yang menggairahkan itu.