
Dua tempat ibadah di Tanjung Priok Jakarta Utara berdiri berdampingan selama lebih dari setengah abad.
Tidak hanya bangunannya yang berdampingan.
Jemaat Gereja Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien pun akrab menjalin kebersamaan, meski berlatar belakang agama berbeda.
Saat gereja diserang, warga Muslim tak ragu melindungi.
Reporter KBR68H Novri Lifinus belajar soal kebersamaan antara umat beragama di sana.
Setiap hari Minggu pukul 6 petang, seperti biasa, Jemaat Gereja Mahanaim di Tanjung Priok, Jakarta Utara melaksanakan ibadah sore. Gereja ini letaknya tak jauh dari Pelabuhan dan Terminal Tanjung Priok. Bis-bis antarkota maupun antarpropinsi seringkali melintas.
Tak lama, giliran suara adzan Maghrib berkumandang dari bangunan sebelahnya, Masjid Al-Muqarrabien.
Suara adzan dan lagu-lagu gereja tak keras menggelegar. Hanya sayup-sayup terdengar dari luar. Pengurus gereja dan masjid sepakat untuk tidak menggunakan pengeras suara di luar, supaya ibadah tetap khusyuk.
Gereja Mahanaim dan Mesjid Al-Muqarrabien memang seperti saudara sekandung. Letaknya berdempetan, satu tembok penghubung yang digunakan bersama.
“(Suara ketukan tembok)...Ketukan tadi adalah suara dari tembok pemersatu Mesjid Al-Muqarrabien dengan Gereja Mahanaim. Ya, tidak hanya bersebelahan, namun, juga tidak ada tembok pemisah antara dua tempat ibadah ini. Dengan tembok pemersatu ini, jemaat Gereja dan Warga Mesjid sudah hidup berdampingan selama berpuluh-puluh tahun tanpa memandang adanya perbedaan di antara mereka. Kalaupun ada yang berbeda, mungkin hanyalah warna dari tembok pemersatu tersebut. Tembok yang menghadap Gereja dipenuhi warna putih, sementara yang menghadap Mesjid dominan dengan warna hijau.”
Gereja dibangun pada 1950, oleh pelaut-pelaut Muslim dan Kristen yang singgah di Pelabuhan Tanjung Priok. Pelaut asal Sangihe Talaud, Sulawesi Utara ini, ingin memiliki tempat ibadah sekaligus wadah silaturahmi bagi para pelaut.
Tatalede Barakati, Ketua Jemaat Gereja Mahanaim.
“Mereka ingin apa yang terjadi di kampung halaman mereka juga terjadi di sini. Sehingga mereka berjuang, sehingga mendapatkan tanah di sini. Ketika mereka bergumul tahun 50an, mereka bergumul.”
Gereja duluan yang dibangun. Di sampingnya, masih ada tanah kosong. Lantas dibangunlah masjid dua tahun kemudian, kata Ketua Yayasan Masjid Al-Muqarrabien, Assyah Azis.
“Al-Muqarrabien itu wakaf dari pelayaran. Jadi ini mereka, ini masjid dibangun, gereja juga dibangun. Jadi bersamaan membangunnya pada waktu itu.”
Masjid terdiri dari dua lantai, mampu menampung hingga 3000 jemaah.
Sementara gereja terdiri dari tiga lantai. Ketua sekaligus Pendeta Jemaat Gereja Mahanaim Tatalede Barakati menjelaskan, gereja juga menyediakan tempat pengobatan gratis bagi warga.
“Kerja bakti, pasar murah, misalnya mendekati Lebaran. Terus ada pengobatan cuma-cuma, operasi bibir sumbing, penghitanan, itu ditanggung, jadi kita bikin apa, baksos, bakti sosial. Jadi di sini dibikin karena kita orang merasa dengan masyarakat tuh kan harus membaur.”
Dari luar, tampak lambang salib gereja bersebelahan dengan kubah masjid. Ini jadi penanda kebersamaan dua jemaat berbeda agama.
Kerukunan terbukti saat gereja akan dibakar pada 1980-an. Saat itu tengah terjadi kerusuhan di Tanjung Priok, yang membuat gereja jadi sasaran ancaman pembakaran. 50-an orang datang dan menimpuki gereja. Seketika, 100-an warga masjid pasang badan menjaga gereja.
“Dan pada waktu musibah dulu Tanjung Priok, malah yang jaga gereja ini adalah mereka. Mereka bilang, kalau mereka mau bakar gereja, bakar mesjid dulu, langkahin mereka. (Ikut menjaga ya?) Jadi mereka yang sebenarnya berjuang pada waktu peristiwa Tanjung Priok dulu yang bakar-bakar gereja, di sini aman karena mereka yang jaga.”
(bersambung kebawah)